Jakarta, SpiritNews-Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menjamin bahwa mahasiswa tidak mampu namun berprestasi bisa kuliah kedokteran melalui penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Rp0.
“Melalui UKT, mahasiswa kalangan tidak mampu tidak perlu membayar uang semester (Rp0), sedangkan mahasiswa mampu lainnya membayar UKT sesuai kemampuan orang tua, subsidi silang. Sehingga muncul sistem pembiayaan berkeadilan,” ujar Nasir di Jakarta, Jumat (24/3/2017).
Dia mengatakan pada 2012, Ditjen Pendidikan Tinggi telah menyusun analisis biaya per unit pendidikan kedokteran per semester dengan pendekatan berdasarkan aktivitas, yang selanjutnya juga menjadi dasar perhitungan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk pendidikan kedokteran di PTN sesuai Permendikbud No 73/2014. Berdasarkan analisis tersebut diperoleh UKT Pendidikan dokter : Rp12.694.000. Dalam penerapannya di perguruan tinggi negeri, UKT Pendidikan Dokter mulai dari Rp0 hingga maksimal Rp25.000.000 (kelas tertinggi).
Dengan berlakunya UKT, mahasiswa di perguruan tinggi negeri hanya membayar uang semester, tidak ada lagi uang pangkal dan biaya lainnya.
Menristekdikti menegaskan bahwa calon mahasiswa berprestasi dari kalangan tidak mampu jangan khawatir melihat besarnya biaya pendidikan kedokteran tersebut, karena negara hadir melalui berbagai skema pembiayaan dan beasiswa untuk memberikan akses bagi mereka untuk meraih impiannya sebagai seorang dokter.
Selain melalui sistem UKT, kalangan dari keluarga tidak mampu juga dijamin aksesnya mengenyam pendidikan dokter melalui pemberian beasiswa. Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang 20/2013 mengenai adanya beasiswa dan bantuan biaya pendidikan untuk mahasiswa dan dosen (Pasal 32 – 35).
Saat ini beasiswa dan bantuan biaya pendidikan untuk mahasiswa dan dosen kedokteran telah dikeluarkan melalui program BIDIK MISI, LPDP, dan juga Program Beasiswa Afirmasi.
Pada 2017, Kemristekdikti menyiapkan beasiswa Bidik Misi bagi 90.000 mahasiswa Indonesia, dan ini terbuka bagi seluruh fakultas dan program studi.
Selain skema beasiswa di atas, beberapa universitas juga telah membuat program terobosan untuk membuka akses pendidikan kedokteran. Universitas Padjajaran contohnya, sejak tahun lalu telah menggratiskan biaya pendidikan bagi para mahasiswa kedokteran.
Para mahasiswa memperoleh beasiswa dari kota/kabupaten di Jawa Barat, termasuk dari instansi swasta dengan kewajiban setelah mereka lulus sebagai dokter harus bekerja di Jawa Barat di wilayah/instansi yang ditentukan.
Menristekdikti menjelaskan ada banyak faktor yang menyebabkan biaya pendidikan kedokteran mahal dibandingkan bidang pendidikan lainnya karena untuk menghasilkan seorang dokter profesional dan handal diperlukan sumber daya yang besar dan berkualitas, sejak tahap pendidikan akademik (pre-klinik), profesi (klinik/co-ass), hingga Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, mahasiswa diharapkan mengikuti pendidikan klinik di rumah sakit sejak awal pendidikan.
“Pendidikan kedokteran membutuhkan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum, rumah sakit pendidikan, Wahana Pendidikan Kedokteran, serta wahana penelitian yang sesuai dengan Standar Pendidikan Profesi Dokter (SPPD) dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Untuk itu, dibutuhkan sumber daya yang besar (termasuk biaya yang besar) untuk mendirikan dan mengimplementasikan pendidikan kedokteran pada fakultas kedokteran,” papar dia.(*)