Kabupaten Asahan, SpiritNews-Hamidah tak dapat menutupi kesedihan. Wanita berusia 46 tahun itu tampak lusuh dan kusut ketika menemani suaminya Almadin (50), sedang duduk di kursi sofa tua yang sudah mulai lapuk.
Menjalani hidup dalam kemiskinan serta menjadi tulang punggung keluarga, kerap membuatnya gundah gulana. Sebab, suaminya tak lagi bisa berbuat banyak sejak mengalami kebutaan sepuluh tahun yang lalu.
“Masuk pak. Beginilah keadaan kami. Kami tak bisa menyambut dengan baik. Rumah kami juga sempit dan kotor,” kata Hamidah sungkan, saat dikunjungi spiritnews di kediamannya di Dusun II Desa Simpang Empat Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan, Kamis (11/5/2017).
Pasangan suami istri itu tinggal bersama keempat anaknya yang masih kecil-kecil, disebuah rumah milik salah seorang warga yang dipinjamkan karena merasa iba. Dindingnya terbuat dari setengah susunan batu bata dan anyaman bambu, sementara atap rumah terbuat dari susunan daun rumbia.
Susunannya tak lagi rapat. Beberapa titik cahaya tampak menerobos masuk ke dalam rumah, menandakan atap bocor disana sini ketika diguyur hujan. Hidup mereka semakin sulit, ketika Almadin tertimpa musibah dan mengalami kebutaaan pada kedua matanya.
Praktis, seluruh beban keluarga berada di pundak Hamidah. Ia harus banting tulang mencari nafkah dengan mencuci pakaian tetangga. Seluruh beban hidup harus dipikulnya sendiri, termasuk merawat suami dan mengasuh empat anaknya yang masih kecil kecil.
“Untuk bertahan hidup, saya mengambil upah cucian kepada tetangga. Dari mencuci pakaian, saya mendapat upah Rp 200.000 hingga Rp 250.000 per bulan setiap rumah tangga. Ada 3 rumah yang pakaiannya saya cucikan,” katanya.
Saat disinggung mengenai penyebab penyakit kebutaannya itu, Almadin mengisahkan, bahwa penderitaannya berawal dari saat memanen sawit pada 2007. Saat sedang mengait tandan buah sawit, tiba-tiba serbuk dari atas pohon jatuh dan mengenai kedua matanya.
Sontak, Almadin langsung menjatuhkan egrek (alat pengait sawit)nya. Secara Refleks, ia lalu mengucek ngucek mata, dengan maksud untuk membersihkan kotoran yang mengenai matanya itu.
“Tapi bukannya sembuh. Mata malah semakin sakit. Mula mula merah, lama kelamaan semakin membengkak dan perih,” katanya.
Ironisnya, karena penghasilan sebagai pemanen sawit sangat rendah, membuat dirinya enggan memeriksakan kedua matanya ke rumah sakit atau ke dokter mata. Selain itu, ia juga belum terdaftar sebagai peserta Badan Penyelengara Jaminan Kesehatan (BPJS).
Kondisi itu membuatnya harus bertahan dengan mata perih sampai akhirnya tidak bisa melihat, hingga kini.
“Bagaimana mau punya uang untuk berobat. Buat biaya makan saja masih kurang,” ujarnya.
Mereka mengaku hanya bisa pasrah dan berdoa sambil menunggu uluran tangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Asahan dan keajaiban dari Yang Maha Kuasa saat ini.
“Sebenarnya kami berharap ada bantuan dari pemerintah (Pemkab Asahan). Tapi sampai saat ini belum ada, baik pengobatan dan bantuan lainnya. Begitupun kami sudah pasrah dan tetap berdoa, semoga Allah SWT mengubah hidup kami ke arah yang lebih baik lagi, daripada saat sekarang ini, ” harapnya.(fik/ric)