Jakarta, SpiritNews-Aksi terorisme yang terjadi di pos penjagaan Mapolda Sumatera Utara pada Minggu (25/6/2017) dini hari, yang menyebabkan satu anggota Polri gugur dalam tugas, merupakan peringatan serius bagi negara.
Untuk terus meningkatkan kemampuan mencegah segala bentuk terorisme termasuk mencegah segala tindakan yang potensial bertransformasi menjadi tindakan teror.
Dukungan terhadap pemberantasan terorisme jangan sampai kehilangan fokus. Polri saat ini membutuhkan kewenangan pre-trial sebagai manifestasi doktrin preventive justice yang saat ini sedang dibahas dalam RUU Antiterorisme.
Kewenangan pre-trial pada intinya memungkinkan Polri memeriksa orang-orang yang potensial menjadi aktor teror dengan sejumlah indikator yang valid, misalnya keterlibatan seseorang dalan latihan perang/militer.
“Aksi terorisme yang terjadi diduga dilakukan oleh aktor yang sebenarnya sudah sejak lama terindikasi terlibat terorisme,” kata Hendardi, Ketua Setara Institute dalam keterangan persnya, Senin (26/6/2017).
Akan tetapi, karena kewenangan preventif yang terbatas, jelasnya, maka sepanjang belum ada bukti memadai, seseorang tidak boleh ditindak.
Memperkuat aturan operasional dari konsep preventif justice adalah cara negara mendukung pemberantasan terorisme secara lebih genuine.
Presiden dan DPR sebagai otoritas legislasi harus memastikan fokus revisi RUU Antiterorisme pada penguatan kewenangan pencegahan.
Tetapi karena kewenangan pre-trial ini sangat berpotensi melanggar HAM, maka kerangka pemberantasan terorisme mutlak diletakkan dalam rezim peradilan pidana.
Dengan demikian, selain kewenangan preventif yang mampu menjangkau dan mendeteksi secara dini potensi-potensi terorisme, kekhawatiran praktik abusive dari penerapan konsepsi preventive justice dalam pemberantasan terorisme tetap bisa dimintai pertanggungjawaban hukumnya sebagaimana tersedia dalam mekanisme peradilan pidana.(SpiritNews/TRIBUNNEWS.COM)