Penulis: Yuli Diah Saptorini, M.Pd, Dosen STAI Bani Saleh Bekasi

Bullying, hal yang paling dikhawatirkan para orangtua saat mengantarkan putra putrinya yang memasuki jenjang pendidikan yang baru. Terutama saat anak memasuki tingkat pendidikan menengah (SMP atau SMA bahkan Perguruan Tinggi). Bahkan beberapa tahun belakangan ini kasus bullying terus meningkat dari tahun ke tahunnya.
Kasus bullying terbaru terjadi di awal tahun ajaran dimana satu kasus dilakukan oleh anak-anak lulusan SD yang baru masuk SMP di sebuah lorong pertokoan di bilangan Jakarta Pusat dan kasus lainnya terjadi di Perguruant Tinggi Swasta yang terkenal di Jakarta.
Banyak sudah seminar dan workshop di lakukan
di berbagai sekolah dan lembaga sosial, namun kesadaran dan kepedulian kita dalam mengkampanyekan “Stop Bullying” sepertinya masih bersifat situasional, disaat terjadi suatu kasus dan menjadi viral, dan setelahnya dingin kembali sampai terulang lagi kasus-kasus bullying.
Berdasarkan penelitian Salmivally dan Cowie tahun 2002, 80 % – 90% anak-anak sangat menentang tindak bullying namun hanya 10 % – 20% anak saja yang berperan aktif menolong teman-teman mereka yang menjadi korban bullying.
Sedangkan 30 % anak-anak korban bullying tidak berani menceritakan atau melaporkan kasus yang menimpanya. Berdasarkan data KPAI yang dikutip Republika. co.id, jumlah anak sebagai pelaku bullying di sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada 2014 menjadi 79 kasus di 2015.
Data tersebut diperkuat oleh hasilsurvei Global School-based Student Health, bahwa pada tahun 2007 sebesar 40 % anak usia 13-15 tahun menjadi korban bullying. 56 % anak laki-laki dan 29% anak perempuan di institusi termasuk panti asuhan, pesantren dan asrama serta tempat tahanan anak-anak.
Pada kasus bullying, biasanya yang menjadi korban adalah anak penurut, pendiam, pencemas, kurang atraktif dan anak yang mempunyai hubungan yang kurang erat dengan teman-teman sekelasnya.
Sedangkan pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah, mendapat perlakuan hukum yang berlebihan dari orang tua, situasi rumah yang tidak ramah (penuh agresifitas dan permusuhan). Situasi ini menyebabkan anak merekam situasi dan perilaku agresif orang-orang disekitarnya pada alam bawah sadarnya.
Pada kasus bullying di Universitas Gunadharma dan Thamrin City, kita saksikan bersama dari video yang diviralkan bahwa terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu pelaku, saksi dan korban. Pelaku merupakan pihak pertama yang secara agresif melakukkan tindakan kekerasan secara langsung kepada korban.
Korban merupakan pihak lemah penerima perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap dirinya. Saksi adalah pihak ke-tiga yang mengetahui terjadinya tindak kekerasan. Saksi bisa berperan sebagai pelaku pasif apabila ia membiarkan tindak kekerasan itu terjadi atau menjadi saksi aktif yang membantu korban untuk melawan pelaku bullying.
Lalu apa yang harus dilakukan sekolah untuk meredam dan mengurangi kasus bullying? Bagaimana mengasah kepekaan siswa lain untuk membantu korban bullying?
Untuk mengatasi hal tersebut, sekolah atau instansi-instansi yang berhubungan dengan pendidikan anak seperti panti asuhan, asrama dan pesantren perlu membangun sistem ANTI BULLYING.
Sistem ini harus melibatkan seluruh school society atau warga sekolah yang terdiri dari Kepala Sekolah, guru dan staff sekolah, siswa dan orang tua siswa. Semua harus berperan aktif dalam memerangi bullying.
Proses pembelajaran dan sosialisasi di sekolah diupayakan pada penegakkan nilai-nilai keluhuran dengan membangun etos anti bullying di sekolah. Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah adalah sebagai berikut :
a. Hormat
b. Tanggung jawab
c. Kepedulian
d. Empati
e. Toleransi
f. Kasih sayang
g. Kerjasama
Sekolah harus memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku yang terbukti membully. Sanksi tersebut harus mampu menimbulkan efek jera kepada pembully maupun pihak-pihak yang terlibat secara tidak langsung. Sanksi harus memperhatikan tingkat kekerasan yang dilakukan sehingga tetap memperhatikan azas keadilan.
Semua pihak harus mendukung terlaksananya program anti bullying ini. Pihak sekolah harus selalu mengkampanyekan program anti bullying ini kepada semua pihak. Orang tua dan sekolah mendukung kegiatan-kegiatan yang sekiranya dapat mensosialisasikan program anti bullying.
Selanjutnya adalah aktivitas dalam sistem anti bullying. Cowie, 2002 menawarkan sebuah sistem dalam pendampingan bagi anak-anak korban bullying yang dikenal dengan program “Peer Support”. Sistem ini terbagi dalam tiga skema, yaitu :
1. Skema berteman (befriending .scheme); dalam skema ini anak-anak dilatih sehingga terbentuk menjadi pribadi “teman yang menyenangkan” dalam interaksi sosial sehari-hari.
2. Skema mentoring (mentoring scheme); dalam skema ini siswa yang lebih senior atau kakak kelas dilatih menjadi “teman baik” bagi adik kelasnya. Setiap siswa senior diberi amanah untuk mendampingi seorang adik kelasnya. Mereka harus menjadikan dirinya sebagai model positif dalam pergaulan, mampu menjadi inspirator positif bagi adik kelasnya dan menjadi mentor dalam menguasai pelajaran.
3. Skema edukasi teman sebaya (peer education) atau duta edukasi; dimana para remaja dilatih untuk memberikan informasi dan menjadi advisor bagi adik kelasnya dalam hal seputar Napza dan pergaulan bebas dan kenakalan remaja.
Di Inggris, program Peer Support sudah terbukti efektif dalam menekan kasus bullying. Berdasarkan hasil survei pada 2.300 siswa sekolah menengah dan 234 guru, menyatakan bahwa melalui program Peer Support ini membantu mereka dalam melawan aksi bullying. Bukti lain menyatakan bahwa 80% anak yang mengikuti program ini merasa terlindungi dari tindak bullying.
Melalui Program Peer Support ini, anak-anak dan remaja terasah ranah afektif mereka untuk peduli pada keadaan teman-teman di sekitarnya. Mereka bertanggungjawab atas keamanan dan kenyamanan orang-orang berada di dekat mereka sehingga diharapkan tindak bullying dapat terdeteksi dan dapat dicegah lebih cepat. Tujuan akhir program Peer Support dapat mencegah perlakuan kekerasan menjadi persahabatan, seusai dengan tajuk di atas; FROM BULLY TO BUDDY.(*)







