KPAI: Membangun Sistem Perlindungan Anak Untuk Berkembang Lebih Baik

  • Whatsapp
Rita Pranawati Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dosen FISIP UHAMKA
Rita Pranawati
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Kota Jakarta, SpiritNews-Kasus kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis, masih banyak terjadi di Indonesia. Data Kementerian Sosial (2013) menyebutkan, prevalensi kekerasan anak antara usia 13-17 tahun yaitu kekerasan fisik pada anak lakilaki 1 dari 4 anak dan 1 dari 7 pada anak perempuan; kekerasan psikologis anak laki-laki 1 dari 8 anak dan anak perempuan 1:9; kekerasan seksual untuk anak laki-laki sebanyak 1:12 dan 1:19 untuk anak perempuan.
Situasi ini menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki kerentanan yang lebih besar untuk menjadi korban kekerasan dibandingkan anak perempuan. Anak tidak pula hanya menjadi korban, juga menjadi pelaku kekerasan, meskipun sesungguhnya anak pelaku juga adalah anak korban. Kondisi ini tentu menjadi keprihatinan kita semua dan perlu upaya integratif dalam menyelesaikannya.
Maka dari itu, perlu sebuah sistem perlindungan anak agar mereka mampu mendukung tumbuh kembang anak dengan baik. Saat mereka mampu melewati hari-hari dengan keceriaan, maka harapan masa depan bangsa akan semakin cerah. Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan sistem perlindungan anak itu?
Menguatkan Regulasi dan Kelembagaan
Salah satu fungsi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI secara masif melakukan advokasi membangun sistem perlindungan anak yang terdiri atas aspek norma dan regulasi, struktur dan kelembagaan, serta program dan anggaran. Namun demikian, masih banyak yang perlu diperbaiki untuk membangun sistem perlindungan anak.
Secara norma hukum, Indonesia telah memiliki norma hukum yang memadai sebagai bentuk perlindungan terhadap anak. Undang-Undang No 1/ 1974 dan Undang-Undang No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak menunjukkan komitmen pemenuhan hak anak oleh pemerintah Indonesia sebelum era 1980-an.

Ilustrasi: Membangun konseling keluarga

Ratifikasi Convention on the Rights of Children (CRC) melalui Keputusan Presiden Nomor 36/1990 adalah bentuk komitmen Indonesia di kancah internasional. Setelah itu, lahir Undang-Undang Perlindungan Anak No 23/ 2002 yang kemudian mengalami perubahan menjadi UU Perlindungan Anak No 35/ 2014 dan Undang-Undang No 17/2016. Adanya Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) No 11/2012 menjadi momentum perlindungan khusus bagi anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Belum lagi Undang- Undang No 23/2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-Undang No 21/ 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Selain itu, pada UUD 1945 Pasal 28 B Ayat 2 juga telah mencantumkan hak anak, yaitu ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pekerjaan rumah yang tersisa adalah bagaimana implementasi peraturan ini secara baik untuk perlindungan anak serta memberikan edukasi bagi para pelaksana perlindungan anak. Dilihat dari struktur dan lembaga, nomenklatur kelembagaan perlindungan anak muncul pada 2009 di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Namun, berbagai kementerian dan lembaga terlibat langsung dalam pemenuhan hak anak, di antaranya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, BKKBN, Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta kementerian lain yang terlibat secara tidak langsung pada pemenuhan hak anak.
Irisan dan saling berkaitan antar-kelembagaan yang terlibat dalam isu perlindungan anak ini memerlukan koordinasi yang baik sehingga semua pemangku kepentingan berfungsi dengan baik. Selain itu, sumber daya pelaksana juga perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Dibutuhkan SDM yang mumpuni di berbagai bidang yang berhadapan langsung dengan anak, misalnya guru, aparat penegak hukum yang berperspektif anak, pekerja sosial, tenaga konseling, dan advokasi perlindungan anak.
Perbaikan SDM secara kuantitatif dan kualitatif masih sangat diperlukan. Di beberapa daerah misalnya, masih belum memiliki pekerja sosial dan tenaga psikolog. Kalaupun ada, SDM-SDM tersebut harus terus diasah pemahaman dan keterampilannya, serta kemampuan berjejaringnya, selain ditambah jumlahnya. Hal ini mengingat isu perlindungan anak membutuhkan kerja sama lintas sektor.
Pemerintah daerah (Pemda) memiliki peran yang sangat penting pada perlindungan anak sebagaimana disebutkan dalam UU Perlindungan Anak. UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP No 18/ 2016 tentang Perangkat Daerah menguatkan bahwa urusan perlindungan anak menjadi urusan wajib daerah. Saat ini sudah mulai bermunculan dinas teknis untuk perlindungan anak, tapi sebagian besar masih mencari bentuk dari sebelumnya yang berupa badan.
Kebijakan perlindungan anak di pusat belum semuanya dapat diserap dengan baik oleh Pemda. Padahal, Pemda adalah ujung tombak perlindungan anak di daerah dan short cut penanganan pertama kasus perlindungan anak ada di desa dan kecamatan. Belum lagi minimnya kesadaran Pemda untuk mendirikan lembaga pengawas dalam hal ini Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), membuat situasi perlindungan anak masih belum lengkap.
Anggaran dan program perlindungan anak di daerah saat ini masih jauh dari kata memadai. Dari pengawasan kebijakan anggaran di 9 provinsi pada 2015, KPAI menemukan bahwa anggaran non-pemenuhan kebutuhan dasar untuk perlindungan anak hanya 1-2% dari keseluruhan APBD. Jumlah anggaran yang terbatas tersebut digunakan untuk pemenuhan non-kebutuhan dasar, seperti program pencegahan, penanganan, serta pengawasan tentu masih sangat kurang.(Spiritnews/Sindo)

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *