Jakarta, SpiritNews-Pemerintah perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kategori beras premium dan medium.
Hal ini menyusul adanya kasus dugaan pemalsuan beras premium yang dilakukan oleh PT Indo Beras Unggul (IBU).
Pengamat Pertanian Dwi Andreas Santosa menjelaskan, dasar penentuan kategori beras premium dan medium tidak ditentukan oleh varietas beras.
Varietas yang banyak dikenal oleh masyarakat antara lain IR 64, Ciherang, Situ Bagendit, Cibogo, Impari, Mekongga, Cigeulis, Pandan Wangi, dan lain-lain.
“Terkait dengan kualitas beras yang premium dan medium tidak ada kaitannya dengan varietas. Varietasnya mau apa pun, mau IR 64, Ciherang.
Bukan berarti IR 64 ini medium, kemudian kalau Pandan Wangi premium, ya tidak juga,” ujar dia saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Selasa (26/7/2017).
?Menurut Dwi, yang menentukan kategori beras adalah Standar Nasional Indonesia (SNI). Masing-masing kategori beras memilik SNI sendiri, sehingga akan lebih mudah untuk dibedakan.
“Yang menentukan SNI untuk beras premium dan medium. Misalnya derajat sosok premium harus 100 persen, sedangkan medium tergantung medium 1, medium 2 atau medium 3, yaitu 85 persen, 90 persen, 95 persen.
Lalu kadar air, kalau premium harus 1 persen, kalau medium bisa belasan persen. Kadar broken atau patahan kalau premium harus di bawah 5 persen, kalau medium boleh di atas itu,” ujar dia.
Oleh sebab itu, ujar Dwi, jika saat ini beredar kabar jika kategori beras berkaitan dengan dengan varietas, maka dinilai malah akan memperkeruh kasus yang menimpa PT IBU.
“Salah kaprah kalau medium dan premium ini dihubungkan dengan varietas. IR 64 juga bisa medium dan premium tergantung kualitas,” ujar dia.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan konsumen merupakan pihak yang paling dirugikan dalam kasus dugaan pemalsuan kualitas beras premium.
Lantaran, pembeli telah mengeluarkan uang lebih untuk mendapat kualitas terbaik dari beras premium tersebut.
Ketua Harian YLKI Sularsi mengatakan, selama ini sulit untuk membuktikan jika produk yang dibelinya merupakan produk dengan kualitas yang paling tinggi. Sebagai contoh yang terjadi pada kasus beras premium ini.
“Bagi konsumen, untuk mengetahui ini benar atau tidak perlu ada pembuktian, ada yang tidak menggunakan pemutih, tidak pakai bahan pengawet, produk lain menyebut ada kandungan lemak, protein, karbohidrat,” ujar dia saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Senin (24/7/2017).
Dia menuturkan, konsumen hanya bisa menilai jika beras tersebut merupakan kategori premium atau medium hanya berdasarkan kemasan dan penampakan dari beras ini.
Sedangkan untuk memastikan jika beras ini benar-benar kategori premium, harus dilakukan pengecekan ke laboratorium.
“Konsumen membeli berdasarkan visualnya saja, tidak melakukan secara mendalam. Misalnya ada kandungan protein 14 persen, ada karbohidratnya.
Untuk mengetahui itu tidak bisa dilakukan secara visual, harus dilakukan pembuktian secara tes laboratorium,” ucap dia.(SpiritNews/Liputan6)