Jakarta, SpiritNews-Siang itu, melalui pengeras suara jinjing, petugas pelayanan PT Kereta Api Indonesia dan PT Commuterline Jabodetabek di Stasiun Tanah Abang tak henti-hentinya mengingatkan penumpang yang tengah menggunakan tangga berjalan atau eskalator.
“Ayo jalan Bapak, Ibu yang di sebelah kanan, yang di sebelah kiri bagi yang diam, sebelah kanan untuk yang terus berjalan,” kata seorang petugas saat mengawasi sisi eskalator dari peron 5 dan 6 yang menuju ke lantai dua.
Petugas lainnya yang tengah mengawasi eskalator di peron 3 dan 4 juga terus mengingatkan penumpang lainnya agar memilih sisi kiri dan memberi kesempatan penumpang lain yang bergegas di sisi kanan agar bisa berjalan saat menggunakan eskalator.
Bagi banyak orang, pembagian satu sisi bagi orang yang diam dan sisi lainnya bagi orang yang berjalan dalam sebuah jalur eskalator merupakan hal yang lazim di luar negeri.
Namun, di Indonesia, kebiasaan itu masih relatif sangat jarang. Hampir semua orang saat menggunakan eskalator berada di sisi kanan dan kiri serta tak bergerak hingga tangga yang dipijaknya sampai di ujung eskalator sehingga sulit bila ada pengguna lain yang hendak bergegas dan memilih berjalan saat berada di eskalator.
Perseroan Terbatas (PT) KCJ mulai melakukan sosialisasi tersebut, khususnya di Stasiun Tanah Abang sejak beberapa pekan lalu. Meski awalnya kikuk, beberapa penumpang sudah dapat menyesuaikan diri walau masih banyak juga yang memilih tidak peduli.
Tak berhenti di situ saja, pengelola kereta listrik Jabodetabek itu juga mulai menguji coba ruang khusus penumpang yang turun dan naik dengan membuat titik tertentu, pintu kereta api akan berhenti di bagian itu saat berhenti.
Di lokasi yang ditentukan sebagai titik naik dan turun penumpang, pengelola stasiun sudah membuat garis pemisah antara penumpang yang hendak naik dan turun, mirip apa yang telah menjadi kebiasaan di Jepang.
Uji coba itu sudah dilakukan di Stasiun Djuanda dan beberapa stasiun lainnya. Edukasi mengenai etika penumpang saat mengakses layanan KRL juga sudah disosialisasikan di sejumlah gerbong melalui tayangan animasi di layar kaca yang ada di beberapa rangkaian kereta.
PT KCJ tentu berharap kenyamanan berkereta dengan KRL akan makin meningkat bukan hanya karena fasilitas yang sudah modern, melainkan juga perilaku penumpang yang makin baik dan beretika.
Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegakkan slogan dan program revolusi mental sebagai salah satu hal yang akan dilakukan saat menjalankan pemerintah ada kalangan yang merasa pesimistis hal itu terwujud.
Revolusi, sebagaimana banyak dipahami berbagai pihak merupakan perubahan drastis dan relatif cepat dari satu titik ke titik lainnya. Bila dikaitkan dengan mental, jelas bukan hal yang mudah.
Perilaku atau kebiasaan seseorang mulai terbentuk sejak usia keemasan seseorang dalam masa pertumbuhan, yaitu usia 0 hingga 6 tahun.
Ketika pemahaman yang salah sudah dicerna dan dipraktikkan sejak usia dini, akan sulit mengubahnya saat beranjak dewasa.
Padahal, kemampuan untuk menaati peraturan dan berperilaku tertib merupakan salah satu kunci dari keberhasilan sebuah negara membangun ekonomi dan juga budayanya.
Presiden Joko Widodo, melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, menginisiasi Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
Dalam delapan prinsip revolusi mental yang dipaparkan dalam laman resmi GNRM, disebutkan bahwa revolusi mental adalah gerakan sosial untuk bersama-sama menuju Indonesia yang lebih baik.
Selain itu, revolusi mental harus bersifat lintas sektoral, yaitu melalui kolaborasi masyarakat, sektor swasta, akademisi, dan pemerintah.
Upaya revolusi mental dilakukan salah satunya dengan cara mengingatkan masyarakat terhadap nilai-nilai strategis yang terkait dengan perubahan sikap ke arah yang positif.
GNRM mendorong dikembangkannya moralitas publik atau secara sosial dan bukan moralitas privat atau individual.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden menyebutkan salah satu upaya revolusi mental adalah dengan mendorong pendidikan karakter bagi generasi muda.
Bagi Presiden, titik berat pendidikan karakter adalah sopan santun, budi pekerti, integritas, dan kejujuran.
Gerakan Sosial Tidak hanya oleh Pemerintah dan swasta, tetapi masyarakat pun memiliki andil yang penting dalam upaya mengubah pola pikir dan perilaku yang negatif dalam revolusi mental.
Gerakan nasional untuk memperbaiki pola perilaku pernah dilakukan sebelumnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Gerakan Disiplin Nasional atau yang akrab disebut GDN.
Saat ini GDN digelorakan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat dimulai dari sekolah hinggan instansi-instansi pemerintah.
Keberhasilan sebuah gerakan ditentukan oleh respons masyarakat. Apakah hanya sekadar berhenti sebagai sebuah slogan atau diikuti secara luas oleh masyarakat.
Kembali menggunakan contoh gebrakan yang dilakukan oleh pengelola kereta api di Indonesia, ketika masyarakat merasakan kenyamanan dan keamanan setelah adanya penertiban penumpang yang duduk di atap kereta, tidak ada perlawanan, bahkan masyarakat mendukung upaya itu.
Demikian pula, dengan pemberlakuan tiket elektronik dan penertiban keluar masuk penumpang di stasiun kereta api, masyarakat menjadi terbiasa untuk membeli tiket, mengantre saat hendak memasuki stasiun dan juga segan membuang sampah sembarang ketika stasiun bersih dan rapih.
Dengan melihat berbagai pembenahan (menjelang HUT Ke-72 RI) untuk mengubah sikap dan perilaku serta diikuti dengan beberapa contoh keberhasilan, mencapai tujuan revolusi mental, yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong.
Dari sisi integritas, salah satu yang dicapai sebagai contoh budaya bersih, antre, menghormati hak pejalan kaki dan penyandang disabilitas dan dapat dipercaya, antara lain, tidak memberi atau menerima suap.
Dari sisi etos kerja, perwujudan revolusi mental melalui sikap profesional, mandiri, dan kreatif.
Nilai yang terakhir adalah gotong royong. Dari sisi ini, perwujudannya adalah saling menghargai dan gotong royong itu sendiri.
Untuk mencapai kemajuan Indonesai, perubahan menuju hal yang positif harus dilakukan dan yang paling penting perubahan yang menyentuh individu itu sendiri.
“Tanpa kekuatan sumber daya manusia dalam rangka berkompetisi dengan negara lain, ya, kita akan ditinggal.
Infrastruktur penting, iya. Akan tetapi, SDM, membangun manusia, itu lebih penting,” kata Presiden Joko Widodo dalam sebuah kesempatan.(SpiritNews)