Kota Lhokseumawe, SpiritNews-Pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang merupakan pabrik kedua yang dibangun pemerintah Indonesia di Aceh setelah pabrik pupuk PT AAF. Pembangunan pabrik PIM dimulai sejak 13 Maret 1982 dengan produksi pertama pada tahun 1984. Peresmian dilakukan pada 20 Maret 1985 oleh Presiden Soeharto.
Produksi PIM digunakan untuk memasok kebutuhan pupuk urea di Aceh dan Sumatera Utara, serta sebagian lagi diekspor kebeberapa negara. Lalu dibangun lagi pabrik kedua atau PIM 2 dan mulai berproduksi pada tahun 2005 dengan kapasitas sebesar 570.000 ton per tahun. Total kapasitas produksi PT PIM hingga tahun 2007 mencapai 1,17 juta ton.
Produksi Mandeg
Produksi pupuk sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah, karena produsen pupuk yang semuanya merupakan BUMN tujuan utamanya adalah untuk mendukung kegiatan pertanian dan perkebunan di Indonesia.
Dalam hubungan ini, walau produksi mengacu pada kebutuhan dalam negeri, namun dalam perkembangan produksi pupuk harus terkendala oleh pasokan gas seperti yang dialami PT PIM. Kondisi ini mengakibatkan perkembangan produksi PT PIM menjadi mandek.
Penurunan produksi di PT PIM akibat kesulitan mendapat pasokan gas yang berlangsung sejak akhir tahun 2004, hingga sempat terhenti produksinya dan baru berproduksi kembali setelah mendapat swap gas dari pasokan gas untuk ke PT Pupuk Kaltim dari ExxonMobil.
Bahkan terakhir dalam kondisi harga gas yang begitu mahal yang harus dibeli PT PIM untuk tetap bertahan adalah saat Direktur Utama PT PIM dijabat Eko Sunarko hingga dalam suatu rapat yang berlangsung di PT Arun, September 2014) lalu bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung membahas masalah suplai pupuk bagi petani dari PT PIM.
Eko Sunarko dalam rapat tersebut tidak mensia-siakan bahwa perusahaan yang dipimpinnya ini mengalami banyak masalah sehingga tidak dapat memproduksi pupuk secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan petani di wilayah Sumatera.
“Rapat ini tentunya kesempatan bagi kami untuk menyampaikan kepada pemerintah secara langsung, terkait banyaknya masalah yang sedang kami hadapi,” papar Eko saat ditemui sejumlah awak media di ruang rapat PT Arun waktu itu.
Dalam kesempatan tersebut, Eko mengatakan, masalah pertama adalah PT PIM harus membeli gas dengan harga yang sangat mahal. Padahal gas tersebut sebagai bahan baku amoniak untuk produksi pupuk urea.
“Gas ini kan sebenarnya yang punya pemerintah, namun kita harus beli dengan harga sangat mahal mencapai US$ 10,5 per mmbtu. Mahal karena gasnya dari LNG yang dipasok dari Tangguh Papua,” ungkapnya.
Eko menjelaskan, dengan harga gas terlampau mahal tersebut, pihaknya harus menanggung kerugian dari setiap produksi pupuk. Selama ini biaya produksi lebih tinggi daripada harga yang dijual ke petani. “Kalau seperti ini terus kita tidak bisa berkembang, sementara kebutuhan pupuk terus meningkat,” ucapnya.
Ia mengharapkan ada solusi dari pemerintah dan SKK Migas agar dapat mencarikan gas bumi yang dipasok langsung dari sumur gas tanpa harus di bekukan menjadi LNG (liquefied natural gas) atau gas alam cair.
Merujuk kepada permintaan Eko Sunarko tersebut apakah Pemerintah dapat menyetujui belum mendapat konfiurmasi dari Direksi sekarang.
Begitulah dalam perjalanannya yang sudah lebih 10 tahun dalam kondisi kesulitan hingga sekarang belum terlihat bangkit. Bahkan saat ini pabrik tidak berproduksi sama sekali sudah hampir dua bulan. Terhentinya produksi sekarang ini disebut sebut bermula ketika perbaikan di unit amonia 1 dalam rangka menghidupkan dua pabrik PIM 1 dan PIM 2.
Seperti pernah disampaikan Direktur Utama PT PIM, Achmad Fadhiel dalam pertemuan dengan sejumlah wartawan saat pengantongan akhir 2016 lalu. “Dimulai dengan perbaikan di unit amonia 1 dan diharapkan Juli 2017 sudah bisa produksi”, sebutnya.
Namun apa yang terlihat dalam masa perbaikan tersebut belum lagi amonia 1 selesai amonia 2 juga mengalami kerusakan termasuk unit urea hingga produksi terhenti total. Dari beberapa Informasi yang diperoleh Media ini menyebutkan, perbaikan yang tak kunjung selesai tadi sangat tergantung kepada tersedianya spare part yang dibutuhkan juga tenaga ahli.
Seperti diketahui, pabrik PIM terutama PIM 1 dibangun pada tahun 1982 tentu spare part yang dibutuhkan mungkin sudah tidak diproduksi lagi oleh pabrik yang membuatnya. Begitu juga terhadap tenaga ahli. Sementara tenaga yang direkrut PT PIM belakangan ini sama sekali belum berpengalaman. Maka tak heran kalau untuk memperbaiki pabrik yang sudah puluhan tahun rusak bukan pekerjaan mudah.
Maka tak heran pula bila Direksi PIM sekarang ini disebut sebut terpaksa mendatangkan tenaga ahli dari luar bahkan yang sudah pensiunanpun banyak yang ditarik kembali. Dapat dibayangkan pula berapa biaya yang harus ditanggung. Mulai dari biaya kerugian akibat pabrik tidak berproduksi ditambah biaya tenaga ahli yang perbaikannya masih terus berjalan..
“Banyak yang khawatir terhadap parbaikan yang sedang dilakukan, kami khawatir karena pabrik terutama PIM 1 bersama unit amonianya sudah tua kalaupun selesai diperbaiki nantinya berapa lama bisa bertahan”, tanyanya.
Namun terhadap perbaikan amonia 2 dan urea 2 lanjutnya yang sejak Kamis kemarin mulai dikakukan start up, mudah mudahan tidak ada hambatan hingga PIM bisa berproduksi kembali.
“Barangkali semua rakyat Aceh akan berdoa bagaimana PT PIM bisa cepat keluar dari berbagai tantangan dan kesulitan yang sedang dihapi. Karena kalau PIM juga harus tutup, pengangguran di Aceh tambah meningkat. Mudah mudahan tidak terjadi”, harapnya.(mah)