Petani Hutan Dukung Peraturan Menteri Tentang Perhutanan Sosial Jawa

  • Whatsapp
Para petani hutan berfoto bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar
Para petani hutan berfoto bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar

Jakarta, SpiritNews-Petani hutan dan para pendamping yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Perhutanan Sosial Jawa memberikan dukungan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Nomor 39 tahun 2017 tentang Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.
Pemberian dukungan tersebut dibuktikan dengan mendatangi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar. Dalam pertemuan tersebut, petani menyampaikan fakta-fakta lapangan pengelolaan hutan di Jawa, seperti jual beli lahan garapan di kawasan hutan, pungli (pungutan liar) hasil pertanian petani di hutan, hingga konflik kawasan hutan.
“Praktik tidak sehat tersebut menyebabkan hutan Jawa menjadi krisis ekologi karena tidak mampu memulihkan tutupan lahan, dan krisis secara sosial,” kata Siti Fikriyah, dari Yayasan Kehutanan Indonesia melalui press rilis yang diterima redaksi SpiritNews, Sabtu (26/8/2017).
Yayasan Kehutanan Indonesia merupakan bagian dari Sekber Perhutanan Sosial sebagaimana Yayasan Mitra Desaku Mandiri, Rejo Semut Ireng yang berasal dari 31 kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Dikatakan, praktik jual beli lahan garapan di kawasan hutan ini jamak terjadi sebagaimana disampaikan oleh perwakilan petani dari Boyolali, Kendal, Jombang, dan lain-lain.
“Praktik-praktik tersebut menyebabkan petani merasa terancam secara sosial ekonomi dalam mengambil manfaat ekonomi dari hutan mau pun melakukan pemulihan hutan,” jelasnya.
Direktur Operasional Perum Perhutani, Hari Prayitno, di Madiun pada 31 Juli 2017 lalu mengatakan, luas kawasan hutan tanpa tutupan mencapai lebih dari 300.000 hektar dengan zona adaptif 800.000 hektar.
Sementara itu, menurut San Afri Awang, Guru Besar Kehutanan UGM di acara Jagongan Rimbawan pada 20 Agustus 2017 lalu mengatakan, gini ratio petani terhadap pemanfaatan lahan saat ini hanya sekitar 0,2 hektare. Ini sebuah kondisi yang mengkhawatirkan. Di negara lain, penguasaan lahan produksi petani hanya 0,4 hektare dapat memicu revolusi.
Menyadari pentingnya dua isu utama yaitu krisis ekologi dengan luasnya lahan hutan tidak bertutupan alias gundul, pemerintah membuat kebijakan implementasi perhutanan sosial di wilayah hutan negara di Jawa yaitu di wilayah kerja Perum Perhutani. Kebijakan ini juga memperhatikan kesejahteraan dan kebutuhan lahan produksi petani di Jawa.
Kepala Desa, Malang Selatan, Bintoro, mengatakan, mendukung penuh kepada Permen No 39 tahun 2017 serta mengharapkan pemberlakuan permen ini diperluas mencakup bukan hanya hutan yang gundul, namun juga pada hutan bertutupan. Ia menginginkan perubahan pola bagi hasil pemanfaatan hutan.
Selama ini, kata Bintoro, pembagian hasil perhutani kepada desa dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) tidak adil.
“Perhutani mendapatkan sebanyak 33 persen, LMDH sebanyak 22 persen sebelum dipotong pajak 5 persen, pemerintah daerah sebanyak 20 persen, Kesatuan Pengelolaan Hutan sebanyak 4 persen, desa hanya sebesar 3 persen, Muspika sebesar 3 persen, dan Primkopar sebesar 2 persen,” ujar Bintoro.
Ira, salah seorang Ketua LMDH yang kini menjadi Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial dari Rakutak mengatakan, perlunya pendampingan bagi petani hutan termasuk di dalamnya permodalan untuk menanami kembali hutan.
Cakarya, dari Kabupaten Indramayu mengatakan, negara harus memberikan rasa aman bagi petani dalam memanfaatkan hutan bagi kehidupannya. “Kami pernah diusir dan dikejar anjing pelacak, petani tidak diperlakukan manusiawi,” paparnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar mengatakan, tujuan utama program perhutanan sosial Presiden Joko Widodo, adalah demokrasi sesungguhnya yakni hilangnya rasa takut. Perhutanan Sosial dimaksudkan Presiden Jokowi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memulihkan martabat petani hutan sebagai warga negara.
“Perhutanan sosial ini adalah wujud negara hadir, negara akan memberikan pendampingan dan perlindungan kepada masyarakat petani hutan,” ujar Siti Nurbaya.
Menurut Fikriyah, respon petani terhadap Permen No 39 tahun 2017 sedemikian cepat dan massif, karena Permen tersebut telah ditunggu lama oleh petani hutan. Hal yang sama dituturkan oleh seorang perwakilan pendamping petani dari Blitar, Triono menceritakan bahwa petani dari desa Ringin Rejo kecamatan Wates pada tahun 2013 lalu pernah berjalan kaki menuju Jakarta menuntut penyelesaian konflik kawasan hutan.
Sebagaimana diketahui konflik kawasan Ringin Rejo berasal dari tukar-menukar untuk pinjam pakai kawasan tambang PT Holcim di Tuban dengan lahan eks HGU PT Dwima Agung. Menurut Triono, permen 39/2017 memberi jalan keluar bagi penyelesaian konflik tersebut, “Keluarnya Permen 39/2017 ini adalah hadiah dari Jokowi untuk petani,” ujar Triono.
Di akhir acara, Menteri Siti menyatakan bahwa KLHK akan berkomitmen melanjutkan program perhutanan sosial, khususnya implementasi Permen No 39 tahun 2017.(rls/SpiritNews)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *