Aceh Utara, Spirit News-Batu bata tradisional masih menjadi material utama pembangunan,
gedung, perkantoran dan properti lainnya di Aceh. Meskipun dewasa ini
sudah ditemukan inovasi bahan pengganti batu bata dalam membuat
bangunan, tetapi sebagian besar masyarakat Aceh masih menggunakan batu
bata yang justru pembuatannya melalui teknologi tradisional.
Terhadap industri batu bata di Aceh, Aceh Utara masih merupakan
sentra industri pembuatan batu bata terbesar dan sudah dikenal
hingga ke luar Aceh. Demikian penuturan, H Naharuddin, 55 tahun,
warga Gampong Ulee Pulo, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara yang ditemui Spirit News di rumahnya, Minggu (27/8/2017)
H Naharuddin menceritakan pengalamannya dalam pembuatan batu
bata, yaitu sudah semenjak proyek proyek industri raksasa dibangun di
Lhokseumawe dan Aceh Utara tahun 1975.” Hadirnya industri industri besar
tersebut telah membuka peluang banyak penduduk disini untuk membangun
industri batu bata, apalagi mendapat keuntungan besar”, cerita H Naharuddin..
Dijelaskan, meskipun kalangan industri industri besar ketika itu coba menciptakan sendiri
batu bata yang terbuat dari semen tetapi sebagian besar masyarakat
lainnya tetap fanatik menggunakan batu bata yang dihasilkan melalui
teknologi tradisional.
Kenadati dalam prosesnya selain banyak menguras tenaga juga memakan waktu panjang karena peralatan yang digunakan mengandalkan tenaga manusia dan kerbau.
“Didukung lahan tanah yang mempunyai tekstur sangat liat dan tidak terlalu banyak mengandung pasir adalah menjadi pilihan, batu bata yang dihasilkan menjadi bermutu tinggi.
Selain itu semua industry batu bata disini rata rata lebih dekat dengan sumber air menjadi lebih membantu dalam proses pembuatannya”, kisahnya..
Diceritakan, kondisi tanah dan sumber air yang dimiliiki, itulah yang telah membawa kawasan ini menjadi sentra industri batu bata terbesar dan terkenal.
Begitu juga terhadap lokasi usaha yang mudah terjangkau transportasi karena dekat dengan jalan negara, hingga
kepada pembuatan, tempat untuk pencetakan, penjemuran, pembakaran dan
penampungan batu bata lebih siap dan mudah dipasarkan.
Dijelaskan pula, tanah di daerah ini merupakan tanah berkualitas tinggi dan tingkat kekuatan serta kualitas terjamin.. Namun karena banyak pemilik “Dapu Bata” disini terbatas lahan tanah kebanyakan dari mareka harus membeli tanah lalu diolah. “Kami memulai usaha
pembuatan batu bata ini sudah 40 tahun yang merupakan usaha turun temurun dengan modal pinjaman Bank,“ sebutnya..
Dikatakan, usaha yang mengururas tenaga, banyak liku liku yang harus dilakukan ini, mulai membeli tanah, ongkos injak, ongkos cetak, jemur, bongkar muat truk, beli kayu bakar hingga biaya perawatan. “Proses pembuatan hingga pemasaran terkadang lebih satu bulan”, ujarnya.
Dia meambahkan, hampir semua pemilik dapu bata mengandalkan modal melaui pinjaman Bank. “Bila lancar pemasaran tidak terhambat pengembalian. Namun bila macet, macet pula pengembalian, inilah resiko yang banyak dialami pemilik dapu bata disini,” ungkapnya..
Dalam hubungan ini, H Naharuddin sangat berharap kepada Pemerintah Aceh untuk sedikit menaruh perhatian terhadap industri batu bata tradisional yang dikelola masyarakat.
Dimohon ada penjamin dan penyandang modal dengan bunga rendah. “Bila dengan mengandalkan pinjaman Bank banyak pemilik dapu bata terpaksa tutup karena tidak mampu membayar bunga Bank yang tinggi,” keluh H Naharuddin.(Ucr)