Aceh memiliki sumber alam yang menjanjikan seperti minyak dan gas (Migas), hutan, hasil laut dan mineral lainnya. Namun tidak menjadi jaminan untuk bisa menjadikan rakyat Aceh sejahtera. Justru rakyat kian terhimpit kemiskinan, juga alam tidak lagi ramah dengan penghuninya.
Mungkin setelah melihat kondisi Aceh seperti itu, Irwandi Yusuf setelah dilantik menjadi Gubernur Aceh langsung melakukan berbagai terobosan dengan lobi serta pendekatan ke berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri dalam upaya mendatangkan investor masuk ke Aceh.
Namun Irwandi harus hati hati dalam hal ini karena dari pengalaman yang terlihat dan terasakan sebelumnya termasuk ketika Irwandi sendiri pernah melacak dan menemukannya.
Hilang nyawa serta lenyapnya harta benda yang diakibatkan banjir dan longsor sudah sering terjadi dimana mana. Fenomina ini terus menghatui warga setiap terjadi hujan lebat.
Banyak yang mengatakan, eksplorasi sumber daya alam yang tidak terkontrol dan pembabatan hutan, biang terjadi kerusakan alam.
Untuk diketahui, semua kerusakan yang terjadi akibat ulah dan ketamakan serta keserakahan manusia. Kadang mareka berdalih untuk terbuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menambah pemasukan daerah. Yang terlihat justru rakyat tidak pernah merasakan dan mendapatkan apa-apa dari alamnya sendiri.
Belakangan sering terdengar berupa himbauan agar rakyat berhati hati dan harus memahami bahaya dari perubahan iklim global. Sungguh sesuatu yang tidak adil. Kerusakan bumi sesungguhnya adalah akibat dari ulah tangan manusia. Ini jelas di sebutkan dalam Al Qua’an.
Memang bumi tidak butuh di selamatkan, yang di perlukan adalah bagaimana refleksi dan introspeksi serta mengedepankan sikap bijak, tidak bersifat serakah, tamak untuk memperkaya perusahaan yang melakukan eksplorasi dan pengundulan hutan.
Dalam konteks ini, makanya rakyat dan pemerintah Aceh mau belajar dan memahami itu semua. Pengalaman dan contoh sudah dirasakan, apa yang tersisa setelah hutan dan kekayaan bumi Aceh dieksplorasi secara besar besaran untuk diangkut kedaerah lain atau ekspor.
Kini saatnya Irwandi bersama rakyat Aceh bangkit bersama membangun ruang-ruang kesenjangan dengan dialog dan komunikasi berlandaskan kejujuran. Asas kejujuran dalam makna untuk sama-sama melihat objectivitas yang mengharuskan kita tidak lagi saling berperang dan menyalahkan.
Ada hal yang lebih besar yang harus kita lakukan untuk segera mengkonsolidasikan diri untuk menghadapi labirin melawan kemiskinan. Hal sederhana bisa di mulai dari diri sendiri. Eskspektasi pemerintahan Aceh terhadap rakyat hendaknya menjadi lebih baik secara ekonomi, sosial budaya dan politik.
Makna yang dimaksudkan oleh rakyat sebagai constituent seharusnya di fahami dalam bahasa yang sederhana. Dan tidak kemudian harus terburu-buru mengabdi kepada kepentingan investor yang mau menanam modalnya untuk merambah hutan.
Sudah saatnya sikap bijak dan rasionalitas yang didasarkan pada rakyat sebagai constituent. Apakah lebih baik secara politik dan eknomi rakyat harus merevitalisasi lahan-lahan sawah dan kebun mereka untuk di konversi menjadi perkebunan sawit, dan apakah lebih baik rakyat hanya bekerja di perusahaan tambang batu bara, tambang emas atau migas.
Ataukah rakyat hanya membutuhkan bagaimana cara meningkat hasil produksi padi, jagung, kedelai, kelapa, ternak sapi, kerbau dan semua yang selama bertahun-tahun menjadi rutinitas alat produksi rakyat. Bukankah lebih 70 persen corak produksi rakyat Aceh adalah pertanian palawija dan sedikit tanaman keras.
Komunikasi antara pemerintah dan rakyat terkait kebutuhan dan kebijakan dalam meningkatkan nilai produksi dan produktivitas, mengamankan jalur distribusi dan perniagaan, kebijakan harga serta mengatur tata laksana niaga sektor pertanian dan proteksi terhadap sektor unggulan.
Untuk diketahui, Aceh belum dianggap pangsa pasar hasil-hasil produksi. Dan jika di nilai Aceh menguntungkan dan stabil untuk iklim investasi, tanpa di undang pun ribuan investor akan berlomba-lomba membangun pabrik. Contoh terdekat Pulau Batam.
Sekali lagi bumi tidak butuh di selamatkan, kita hanya membutuhkan cara untuk mengubah perilaku kita, ketamakan dan keserakahan yang akan mendorong kita untuk berbuat dan melakukan perulangan sejarah kesalahan dan kegagalan masa lalu dalam menjaga tanah, hutan, sungai dan laut Aceh.
Selayaknya rasionalitas harus dikedepankan untuk menilai kebutuhan rakyat Aceh lalu bagaimana kemudian cara memenuhi kebutuhan itu, dengan tidak bersikap berlebihan memperlakukan alam titipan anak cucu kita, kelak mereka akan ambil titipan ini.
Bila dalam kesempatan ini gagal lagi, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun kedapan tidak akan ada lagi awan dan embun bergelayut di puncak gunung Seulawah dan gunung Geuruedong dan bersamaan itu pula sebagian penduduk Aceh Tengah dan Bener Meriah sudah harus memiliki kulkas dan pabrik es disana. Mari kita renungkan.(ucr)