Kabupaten Aceh Utara, SpiritNews-Sebuah pengalaman pahit yang pernah dialami kabupaten Aceh Utara dengan dana melimpah namun dalam penggunaannnya menjadi sia sia. Ratusan milyar hilang tidak berbekas dimakan proyek politis. Pengalaman ini hendaknya jangan terulang lagi dimasa sekarang dan yang akan datang.
Bayangkan, dana APBK Aceh Utara rata rata setiap tahunnya mencapai diatas satu trilyun dan merupakan yang terbesar dibanding APBK daerah tingkat dua lainnya seluruh Aceh. Belum lagi dana Otonomi Khusus (Otsus) dan batuan BUMN melalui dana Corporate Social Resposibility (CSR). Dengan dana sebesar itu harusnya Aceh Utara telah menjadi daerah paling maju di Aceh.
Namun yang terjadi justru sebaliknya menjadi daerah tertinggal dan rakyatnya terus dililit kemiskinan. Sungguh ironi dan sangat disesalkan oleh banyak kalangan manakala dana yang diperoleh kabupaten kaya migas ini yang demikian besar, penggunaannya menjadi sia sia, tidak untuk kemajuan daerah dan kemakmuran rakyat. Penggunaannya disebutkan lebih kepada proyek politis.
Sebagai contoh disebutkan, proyek pembangunan perkantoran pemerintahan di Lhoksukon yang telah menelan biaya hampir mencapai 90 miliar yang meliputi pembabasan tanah, penimbunan serta pembangunan jalan. Batal dan tidak dilanjutkan lagi karena dinilai kondisi tanahnya labil. Begitu juga biaya untuk pembangunan gedung Islamic Center yang telah menguras dana APBK Aceh Utara lebih 70 miliar rupiah.
Gedung ini kini telah menjadi milik dan kebanggaan Pemerintah Kota (Pemko) Lhokseumawe karena letaknya di pusat kota Lhokseumawe. Hal serupa juga terjadi terhadap pembelian kapal motor (KM) Marisa, kini telah menjadi bangkai terdampar di perairan Kabupaten Aceh Singkil.
Selain itu pembangunan Tangki Crude Palm Oil (CPO) di areal pelabuhan umum Krueng Geukueh yang telah menghabiskan anggaran APBK sekitar Rp.8 miliar.
Tangki ini sekarang telah menjadi besi tua karena tidak pernah berfungsi. Kemudian proyek konveksi yang berlokasi di Rancong, Kecamatan Mara Satu, Kota Lhokseumawe, juga dibangun dengan anggaran APBK Aceh Utara kini tidak terdengar lagi propaganda pemasarannya.
Dan masih banyak lagi proyek proyek gagal lainnya yang semuanya dibangun tidak melalui perencanaan dan survei kelayakan.
Terhadap proyek tangki CPO) di Kompleks Pelabuhan Umum Krueng Geukueh sangat memprihatinkan. Kondisi yang sama juga terlihat pada fasilitas PT Lombartex di Rancong, Lhokseumawe.
“Tangki CPO itu sudah bertahun-tahun dibiarkan terlantar, bahkan tidak pernah difungsikan setelah dibangun, sehingga menjadi proyek mubazir. Ini sangat menyedihkan,” papar ketua LSM.Aliansi Indonesia (AI) kabupaten Aceh Utara, Amri Usman kepada media ini, Senin (9/10) pagi tadi.
Selain tangki CPO juga kondisi fasilitas dalam gedung PT Lombartex. “Mesin-mesin jahit yang ada di sana sudah menjadi bangkai, karena cukup lama tidak difungsikan,” ujarnya.
“Seharusnya gudang PT Lombartex itu difungsikan. Misalnya, diserahkan pengelolaan kepada pihak ketiga atau dikelola Perusahaan Daerah yang akan menghasilkan PAD. Tapi ironisnya, pemerintah malah lepas tanggung jawab, dibiarkan terlantar,” ucapnya.
Dari serangkaian proyek proyek sia sia tersebut yang lebih memilukan dan terheboh hingga banyak rakyat Aceh Utara hanya mampu mengurut dada ketika mendengar bobolnya Kas Daerah (Kasda) Aceh Utara senilai Rp. 220 miliar. Kasusnya sudah ditangani pengadilan dan pelakunyapun sudah menjalani hukuman. Namun dananya tidak kembali utuh ke Kasda Aceh Utara.
Sungguh ironi bila sebuah daerah dipimpin oleh orang orang yang tidak memiliki konsep dan tidak peka terhadap nasib rakyatnya. “Inilah balasannya”, kata beberapa mantan Anggota DPRK Aceh Utara. Minggu (8/10/2017)
Dikatakan, penggunaan dana APBK yang salah kaprah dan sia sia itu misalnya diakui Tgk Samsul Bahri, SH dan HM Yasin Ishak. Keduanya mengaku pernah duduk di Komisi Anggaran dan mengetahui persis terhadap masalah penggunaan APBK yang salah arah itu. Namun pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena dalam penggunaan anggaran lebih ditentukan oleh eksekutif,
“Tugas DPRK cuma mensahkan dan mengawasi. Terhadap penyusunan dan teknis pelaksananya semua ditentukan eksekutif. Kendati demikian DPRK pernah mencoret terhadap item item yang dianggap tidak relevan”, kata Tgk Samsul Bahri kepada Media ini, di Krueng Geukueh Minggu (8/10/2017)
Hal yang sama juga diungkapkan HM Yasin Ishak bahkan terhadap pembangunan perkantoran pemerintahan di Lhoksukon dan Islamic Center menurut Yasin pihaknya pernah mempertanyakan, “apa proyek tersebut tidak salah nantinya”, ucap Yasin. Sementara beberapa warga masyarakat lainnya meminta proyek proyek yang gagal itu harus ada yang bertanggung jawab. “Harus ada yang bertanggung jawab karena dana yang digunakan bersumber dari uang rakyat”, kata nya.(mah/ucr)