Kota Bekasi, SpiritNews-Suhu politik memasuki tahapan pra Pilkada Kota Bekasi 2018 mulai memanas. Para kandidat bersiang ketat untuk mendapatkan rekomendasi dari dewan pimpinan pusat (DPP) partai politik (parpol) masing-masing.
Termasuk salah satu pemicunya adalah konfigurasi antar kekuatan koalisi yang dinamis dan enentuan pasangan calon (paslon) yang akan dideklarasikan mendekati pra pendaftaran paslon pada 1 Januari 2018 mendatang.
“Hal biasa di tahun politik, khususnya menjelang Pilkada. Banyak lembaga survei yang ramai-ramai merilis hasilnya. Masyarakat harus mensikapi dengan bijaksana, jangan ditelan mentah-mentah hasil survei tersebut,” kata Pemerhati Kebijakan dan Pelayanan Publik Bekasi, Didit Susilo kepada SpiritNews, Senin (16/10/2017).
Menurutnya, sebagaimana berita-berita di media, survei juga bisa dijadikan sarana untuk mempengaruhi opini publik, mempengaruhi pola pikir dan emosi publik, bahkan mengarahkan mereka untuk memilih sesuatu dan kepentingan politik pra rekomendasi parpol.
“Lembaga survei dan hasil surveinya kadang merupakan alat yang dipakai oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagai alat untuk ‘perang urat saraf’,” katanya.
Dikatakan, bagi pihak yang diunggulkan oleh hasil survei suatu lembaga, hasil survei itu bisa menjadi alat penyemangat dan mampu meninggikan moral pendukung (terutama pendukung yang tidak tahu dan tidak mengetahui mengenai proses dan maksud survei, yang penting tahunya hasil survei). Sebaliknya bagi pihak yang kurang diunggulkan dalam hasil survei.
“Hasil survei bisa membuat kelompok mereka “terpengaruh” dan mampu mengurangi moral pendukung sekali lagi terutama untuk pendukung yang tidak tahu dan tidak mengetahui mengenai proses dan maksud survei, yang penting tahunya hasil survei,” katanya.
Dijelaskan, hasil survei publik adalah penelitian dan karya intelektual dengan metode terstruktur jelas untuk mendapatkan informasi dari responden dan dapat mewakili populasi yang diteliti. Dari pengalaman Kota Bekasi yang sudah menggelar Pilkada sebanyak 2 kali, fakta juga mencatat saat itu juga banyak beredar hasil survei bahkan petahana surveinya juga kecil.
“Biasanya petahana dimanapun survei ada di peringkat atas, 1,2 atau 3, tinggal angkanya masih bisa dikejar atau tidak. Jika di posisi bawah jelas itu survei sepihak dengan maksud manuver politik dan hasilnya abal-abal. Sebagai lembaga publik dan mengopinikan publik jika jauh dari riel sebagai pertanggujawaban karya intelektual lembaga seperti itu tidak kredibel harus membubarkan diri,” paparnya.
Ditegaskannya, tekhnik pengumpulan data survei yang digunakan oleh lembaga survei di Indonesia yang hampir selalu menampilkan hasil yang berbau politik lebih banyak wawancara dan quesioner, dan survei yang dirilis pun lebih banyak bersifat deskriptif daripada analitis.
Sehingga apa yang dirilis lebih banyak menggambarkan dan mungkin yang digambarkan sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan apa yang diinginkan atau dipilih oleh masyarakat.
“Hasil metode survei wawancara paling sering menimbulkan bias, hal ini berkaitan dengan kemampuan responden memahami pertanyaan dan juga kadang responden berpartisipasi secara tidak ikhlas. Karena kadang-kadang orang yang disurvei ada perasaan takut, khawatir atau bahkan curiga jikalau dia memberitahukan secara jujur dan jelas, apalagi surveyor yang ditemui belum pernah dikenal sama sekali. Jika seorang surveyor mengambil responden seorang yang dia kenal atau dekat dengannya, tentu akan menimbulkan bias yang lebih besar,” ujarnya.
Dari metode survei wawancara ataupun quesioner dengan menerjunkan surveyor sewaan juga riskan untuk menimbulkan bias yang besar, hal ini berkaitan dengan tingkat kejujuran surveyor tersebut. Kadang cuma untuk mengejar target uang atau waktu, quisioner yang harusnya disebarkan ke warga secara acak, beberapanya mereka isi sendiri.(sam)