Jakarta, SpiritNews-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan komposisi soal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) 2018 tingkat SD berupa 90% pilihan ganda dan 10% esai. Selain itu, hanya tiga mata pelajaran yang diuji atau sama seperti tahun lalu.
Tiga mata pelajaran (mapel) yang diuji ialah Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahun Alam (IPA), dan Matematika. Kemendikbud berasalan jika ujian hanya membiasakan soal pilihan ganda maka akan menimbulkan kebiasaan kurang sehat kepada anak. “Jika anak terbiasa pilihan ganda maka spekulatif akan terjadi. Anak tidak terbiasa berargumen karena serba pilihan ganda. (Keputusan) ini juga sebagai bekal anak di abad ke 21,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno saat konferensi pers USBN di kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu (10/1/2018).
Perakitan soal USBN akan dilakukan di masing-masing sekolah atau melalui Kelompok Kerja Guru (KKG). Perubahan lainnya, jika tahun 2017 ujian sekolah nasional di SD hanya bermedium kertas maka tahun ini bisa memakai kertas dan juga komputer. Dia menyampaikan, kertas dipakai untuk soal esai karena belum ada komputer yang bisa memindai jawaban esai.
Sedangkan untuk Kesetaraan Program Paket A mata pelajaran yang diujikan di USBN selain ketiga mapel di atas juga ditambah dengan IPS dan PPKn. Sementara pada ujian sekolah di program Paket A menguji Pendidikan Agama, Seni Budaya, Keterampilan, Penjaskes dan Olahraga.
Menurut Totok, adanya USBN membawa dampak positif bagi guru sebab mereka menjadi aktif dan sadar tentang tugas penting guru yakni membuat soal berkualitas. Tes semacam ini yang mewajibkan guru membuat 75-80% soal juga akan membawa perilaku anak belajar dan guru mengajar.
“Kalau guru tidak bisa membuat soal akan ke arah mana mengajarnya. Jika guru hanya mendidik siswa seperti hanya membuat soal pilihan ganda, maka itu hanya seperti bimbel (bimbingan belajar). Kemampuan guru membuat soal itu sangat penting sebab soal itu akan menjadi acuan anak belajar,” jelasnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menyampaikan, selama ini guru dimanjakan dengan berbagai fasilitas, sehingga guru pun tidak terbiasa membuat soal. Soal ujian sebelumnya dibuat oleh pemerintah provinsi, institusi tertentu seperti lembaga bimbel atau dari lembar kerja siwa (LKS). Kondisi ini, kata dia, sangat tidak sesuai dengan tugas pokok guru yang bertanggung jawab mengevaluasi siswanya.
Oleh karena itu, lanjut Mendikbud, dengan USBN ini kementerian berharap guru mengambil peran yang selama ini hilang yakni membuat soal dan evaluasi, di mana dalam satu tahun lalu sudah diadakan pelatihan tersendiri. “Jadi nanti tidak boleh lagi guru mengambil soal dari LKS atau bimbel. Guru harus membikin soal dan soalnya kemudian dibimbing agar lebih berkualitas,” katanya.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini menjelaskan, dunia terus berubah dan begitu pula sekolah juga harus berubah. Dia berharap, jangan menjadi orang yang antiperubahan karena akan digilas oleh perubahan itu. “Sebab, dengan perubahan itu setidaknya kita sudah berusaha untuk maju,” lanjutnya. Muhadjir menyampaikan, kebijakan ini bukan seperti ganti menteri ganti kurikulum melainkan policy assesment saja agar tujuan dari pendidikan nasional bisa tercapai.
Sementara Kepala Sub Direktorat Kurikulum dan Evaluasi Ditjen Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Basnag Said menyampaikan bahwa di Kemenag selain ada ujian nasional (UN) dan USBN, juga dikenal dengan Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN). Ujian ini menguji khusus mapel agama di madrasah takni Alquran Hadist, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab.
Kebijakan Kemendikbud ini mendapat tanggapan beragam. Salah satunya dari psikolog pendidikan anak Najeela Shihab yang melihat saat ini wacana mengenai USBN hanya dinilai heboh dari penyelenggaraanya. Akan tetapi tujuan mengapa USBN itu dilakukan itu yang harus disorot. “Data USBN nantinya akan digunakan untuk apa? Apakah utuk seleksi tahap selanjutnya atau untuk dilihat guru seperti apa. Hal-hal itu yang sering kali luput dari percakapan kita,” katanya.
Najeela menjelaskan, evaluasi siswa harus dikaji ulang secara keseluruhan. Sebab sekarang metode yang dipakai disetiap jenjang itu sama. Misalnya ujian berstandar ini diterapkan di SD, SMP dan SMA. “Lalu bagaimana dengan kualitas soal-soal di daerah dalam membuat soal. Apakah daerah mempunyai kemampuan dalam membuat soal berkualitas. Lalu apa langkah yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan daerah agar bisa membuat soal yang memiliki kualitas lebih baik,” katanya.
(SpiritNews)