Kabupaten Indramayu, SpiritNews-Calon Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memiliki jurus jitu untuk mengendalikan harga beras agar tetap terjangkau. Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat itu juga memiliki solusi jangka panjang terkait kedaulatan pangan di Jawa Barat.
Ide besar yang sudah berhasil ia laksanakan di Purwakarta dalam kapasitasnya sebagai Bupati itu disampaikan di hadapan kader Golkar Indramayu.
Sebagaimana diketahui, Indramayu memiliki posisi strategis sebagai daerah yang menjadi lumbung padi di Jawa Barat, bahkan nasional.
Menurut Dedi, pengelolaan pertanian saat ini tidak berorientasi pada penciptaan kedaulatan pangan. Hal ini dapat jelas terlihat dari pola pengupahan para buruh tani yang tidak lagi menggunakan sistem bagi hasil pertanian.
“Kenapa buruh tani hari ini diupah dengan uang?. Padahal, zaman dulu mereka dapat menyimpan hasil panen padi yang mereka kelola,” katanya, di Hotel Handayani, Kabupaten Indramayu, Minggu (18/2/2018).
Dedi menilai, seharusnya sistem pengupahan buruh tani dikembalikan ke masa lalu. Ia melihat sisi penting dari pengembalian sistem ini yakni mereka dapat memiliki cadangan pangan yang cukup untuk makan sehari-hari,”katanya.
Jadi, untuk sekedar memenuhi kebutuhan beras, buruh tani tersebut tidak harus membeli.
“Parahnya, petani kita harus membeli beras yang sebenarnya mereka produksi,” ucapnya geram.
Saluran distribusi padi dan beras saat ini menurut Dedi sudah tidak sehat. Kondisi ini ia pandang sebagai penyebab mahalnya harga beras di pasaran.
Dedi berkisah tentang kebiasaan pelaku pertanian hari ini. Kata dia, saat padi berhasil dipanen, para tengkulak sudah bersiap membeli gabah kering giling dari petani.
Gabah tersebut kemudian diangkut oleh buruh angkut lalu digiling di tempat penggilingan padi. Kemudian, truk-truk pengangkut bersiap membawa padi siap konsumsi ke pasar-pasar induk di perkotaan.
Seluruh proses tersebut kata dia, menimbulkan biaya yang tidak sedikit. Biaya itu dibebankan kepada pihak konsumen karena dimasukan ke dalam harga pokok produksi beras. Akibatnya, mahalnya harga beras tak bisa terelakan.
“Jadi, bukan petani yang menikmati mahalnya harga beras. Lalu siapa? Mereka, para tengkulak, spekulan dan pengusaha-pengusaha besar. Petani malah menunggu datangnya beras sejahtera kiriman bulog,” katanya lirih.
Bukan hanya menganalisa masalah, pria yang sudah menjadi petani sejak kecil atas didikan ibunya itu memiliki metodologi pemecahan masalah tersebut.
Menurut dia, saluran distribusi yang kadung panjang dan berbiaya tinggi itu harus diubah. Caranya, harus dilakukan pemetaan kebutuhan beras di daerah penghasil beras. Setelah itu, beras yang dihasilkan boleh keluar daerah tersebut.
“Pemerintah harus berani melakukan perlindungan, beli gabah petani, lakukan pemetaan kebutuhan. Tidak boleh lagi ada daerah penghasil beras tapi kekurangan beras,” ujarnya.
Penciptaan lumbung padi secara merata di seluruh daerah di Jawa Barat juga penting dilakukan. Dedi berpendapat, pengelolaan lumbung tersebut harus diserahkan kepada masyarakat setempat yang sudah jauh memiliki kearifan.
“Bangkitkan lagi lumbung-lumbung padi di seluruh daerah. Pemerintah juga harus membuka lahan-lahan pesawahan baru, serahkan semua pengelolaannya kepada masyarakat,” katanya.
Regenerasi di bidang pertanian pun tak luput dari perhatian Bupati Purwakarta dua periode tersebut. Minta generasi muda terhadap pertanian menurut Dedi harus terus digenjot. Mereka harus diserahi lahan untuk dikelola produktivitasnya.
“Kita harus menyadari, hari ini kepemilikan lahan beralih dari petani ke orang kaya. Lalu, generasi muda kita kemana?. Saya kira, generasi muda harus diajarkan langsung cara bertani itu. Kalau ini tidak dilakukan, mungkin harga beras bisa mencapai Rp30 ribu per kilonya,” katanya. (SpiritNews)