Jakarta, SpiritNews-Gencarnya operasi tangkap tangan (OTT) yang dila kukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan bentuk peringatan keras agar para calon kepala daerah berkompetisi secara sehat tanpa menggunakan uang rakyat.
Terutama, para calon kepala daerah petahana (incumbent) yang rentan menerima suap untuk kebutuhan kampanye dan pemenangan pilkada.
Ketua KPK Agus Rahardjo membeberkan, masih banyak calon kepala daerah selaku penyelenggara negara yang akan ditangkap KPK dalam waktu dekat.
“Ada beberapa calon ke pala daerah yang ikut kompetisi pilkada tidak lama lagi akan jadi tersangka. Kita sedang diskusi apakah kita segera kita declar (umumkan) saja supaya rakyat tidak salah pilih,” kata Agus di Jakarta akhir pekan lalu.
Mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mengatakan, pihaknya berupaya membantu menciptakan penyelenggaraan pilkada yang bersih dan berintegritas.
Sebab itu, dia mengingatkan para calon kepala daerah khususnya petahana agar berkompetisi dengan jujur dan sehat. “Ini peringatan keras agar para calon tidak bermain-main apalagi menggunakan uang rakyat. Jangan sampai dana yang di ama nahkan tersebut malah dipergunakan dan diselewengkan untuk dana pemenangan dan logistik pilkada,” terangnya.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, penanganan kasus atau perkara terkait calon kepala daerah semata-mata bukan KPK ingin menargetkan orang-orang atau partai tertentu, bukan juga pesanan.
“Kita tidak punya target menangkap kepala daerah atau calon kepala daerah dari partai tertentu. Kalau mau jujur, kita tidak pernah menarget partai tertentu. Tidak boleh seperti itu,” ujarnya.
Mantan staf ahli Kapolri Bidang Sosial Politik ini memaparkan, dalam melakukan penanganan kasus KPK berpegang pada alat bukti. Untuk kasus OTT, semua bermula dari laporan masyarakat. Saat laporan masuk, kemudian ditelaah lalu dilakukan penyelidikan tertutup hingga berujung penangkapan saat transaksi dugaan suap terjadi. Proses ini berpijak pada klausul dalam Pasal 19 ayat (1) KUH-Pidana.
“Transaksi tidak selalu dalam bentuk kertas atau uang tunai. Nilai uang kadang ditransaksikan dalam bentuk transfer. Perkembangan teknologi dan modus yang dipergunakan para penjahat berkembang terus, penegak hukum harus ikut perkembangan terus,” bebernya.
Basaria mengakui calon kepala daerah yang maju kembali di pilkada memang membutuhkan biaya politik yang tinggi. Hal ini berdasarkan beberapa kasus hasil penyidikan yang sebelumnya ditangani KPK hingga tahap pengadilan. Biaya pilkada tersebut mulai dari mahar politik, logistik kampanye, hingga biaya saksi.
Basaria mengatakan, KPK juga mengawasi dinasti politik karena memiliki potensi tinggi terjadi tindak pidana korupsi berdasarkan fakta dari hasil OTT. KPK tidak melarang ada politik atau kepala daerah turun-menurun jika dilakukan secara transparan dan akuntabel. “Intinya apabila orang tua atau anak menjadi kepala daerah atau pejabat negara tidak melakukan tindak pidana korupsi,” tandasnya.
Dia mengungkapkan, penyidik KPK akan menindak tegas pejabat negara maupun kepala daerah yang terlibat korupsi dengan menerapkan pasal pencucian uang untuk memiskinkan koruptor. Tercatat, sudah ada enam pejabat daerah yang ditangkap KPK dalam kegiatan OTT sejak awal 2018.
Pejabat daerah pertama tertangkap tangan adalah Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif setelah diduga menerima uang suap sebesar Rp1 miliar. Uang tersebut berkaitan dengan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) H Damanhuri Barabai, Kalimantan Selatan.(SpiritNews)