Kabupaten Purwakarta, SpiritNews-Pemerintah daerah di seluruh Indonesia melakukan pembangunan dengan konsekuensi tersendiri terhadap keseimbangan alam.
Atas hal tersebut, Calon Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengatakan, pembangunan suatu daerah harus dilakukan secara milenial.
Mantan Bupati Purwakarta dua periode itu, menjelaskan, pembangunan ala milenial bukanlah biang kerok dalam kerusakan lingkungan. Justru sebaliknya, pembangunan yang dilakukan kaum milenial sangat mempertimbangkan dampak lingkungan yang terjadi dari pembangunan itu sendiri.
“Generasi millenial itu justru membuat pembangunan dengan dasar pertimbangan lingkungan. Faktor lingkungan menjadi pertimbangan utama. Bukan generasi millenial seperti anggapan kita,” kata Dedi, di Purwakarta, Selasa (24/4/2018).
Menurut Dedi, alih fungsi lahan jusru akan menimbulkan ketidakseimbangan alam yang berdampak langsung pada munculnya bencana di suatu derah. Dia menilai, cara seperti ini bukanlah cara generasi millenial bekerja.
“Jangan hanya karena ingin disebut sebagai generasi milenial terus kemudian kita merusak lingkungan. Ini bisa menjadi siksaan bagi masyarakat setempat. Pemahaman ini yang harus kita luruskan. Toh Negara-negara maju pun berorientasi pada pentingnya alam sekitar,” tegasnya.
Falsafah orang Jawa Barat, menurut Dedi Mulyadi, dapat menjadi rujukan generasi millenial hari ini dalam melakukan pembangunan. Dalam falsafah tersebut terkandung ‘Trilogi” Pembangunan Orang Jawa Barat.
Yakni, gunung kudu diawian (gunung harus penuh dengan pohon), lengkob kudu dibalongan (daerah lembah harus penuh kolam resapan). Kemudian terakhir, lebak kudu sawahan (daerah landai harus penuh dengan padi).
“Ini modern dalam terminologi laku hidup orang Jawa Barat, modern berdasarkan kultur kita sendiri. Kalau falsafah ini kita tinggalkan, jangan salahkan kalau air mampir di rumah kita (banjir),” ujarnya.
Saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi gencar melakukan langkah perlindungan terhadap lingkungan. Diantaranya, dengan cara membeli mata air yang tersebar di desa-desa dengan menggunakan dana milik pemerintah.
Hal ini menurut dia merupakan langkah proteksi terhadap sumber daya alam. Sehingga, salah satu sumber hajat hidup orang banyak tersebut tidak dialihfungsikan oleh pihak lain. Setelah dibeli, mata air tersebut digunakan oleh masyarakat Purwakarta sendiri.
“Kalau kita biarkan, nanti mata airnya berpindah tangan kepada pebisnis, dijual untuk keperluan komersil. Bayangkan saja, warga setempat yang merawat mata air, masa harus beli. Kalau dikelola oleh pemerintah, mereka tinggal memanfaatkan saja,” ucapnya.
Selain itu, pada Tahun 2014, masih saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi pernah mengeluarkan Peraturan Bupati. Yakni, Peraturan nomor 47 tentang Pemberian Pertimbangan Bupati Purwakarta tentang Jual-Beli Tanah di Purwakarta.
Tujuan diberlakukannya peraturan ini adalah dalam rangka menjaga tanah-tanah di Purwakarta agar tidak beralih fungsi. Lahan pertanian dan resapan air menjadi perhatian khusus Pemerintah Kabupaten Purwakarta saat Dedi Mulyadi menjabat.
“Tujuannya yakni menjaga warga agar tidak menjual tanah. Alasannya harus jelas, tidak boleh tanpa alasan, tidak boleh juga karena kebutuhan sesaat. Kalau misalkan dijual untuk berobat, ya berobatnya digratiskan agar warga tidak perlu jual tanah,” katanya.(SpiritNews/okezone.com)