Jakarta, SpiritNews– Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK) no 4 tahun 2017 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan nomor 52 tahun 2016 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan, belum bisa memberikan perubahan yang signifikan terhadap mutu layanan pasien pengguna asuransi BPJS karena didalam perubahan tersebut hanya menyoroti pasal 25 tentang perubahan paket pelayanan rawat jalan eksekutif dan ketentuan selisih biaya/tambahan biaya pada pasien yang menginginkan kelas perawatan rawat inap yang lebih tinggi dari haknya di setiap episode rawat inap. Bagaimana dengan tarif INA-CBG’s yang lainnya?.
“Evaluasi terhadap kebijakan ini perlu dipertimbangkan untuk perbaikan kualitas pelayanan terhadap pasien pengguna BPJS Kesehatan di kemudian hari,” ungkap Mahasiswa Program Magister keperawatan sint carolus Jakarta, Herulim T. Simamora.
BPJS Kesehatan merupakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia dan juga merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bertujuan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia melalui pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan dengan membayar iuran atau iurannya dibayakan oleh pemerintah.
“Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan adanya revisi terhadap kebijakan PMK nomor 64 tahun 2016 sudah berdampak baik terhadap layanan pasien BPJS saat ini? Dan apakah para pasien pengguna asuransi BPJS sudah cukup puas dengan pelayanan BPJS saat ini?,” tuturnya.
Tarif INA-CBG’s (Indonesian-Case Based Groups) merupakan besaran pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur, yang sistem pembayarannya dilakukan dengan metode prospektif artinya pembayaran dilakukan atas layanan kesehatan yang besarnya biaya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan.
FKRTL adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus.
Tarif INA-CBG’s terdiri atas tarif rawat jalan dan tarif rawat inap dengan enam kelompok tarif yaitu tarif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto mangunkusomo, tarif Rumah Sakit Jantung dan pembuluh darah Harapan Kita, tarif Rumah Sakit kanker Dharmais, tarif Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, tarif rumah sakit pemerintah dan swasta kelas A, (4). Tarif rumah sakit pemerintah dan swasta kelas B, tarif rumah sakit pemerintah dan swasta kelas C dan (6). Tarif rumah sakit pemerintah dan swasta kelas D.
Tarif INA-CBG’s terdiri dari 5 regional, yaitu tarif regional 1 meliputi provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, daerah istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, tarif regional 2 meliputi provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Bali dan Nusa Tenggara Barat., tarif regional 3 meliputi provinsi Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo,tarif regional 4 meliputi provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Kalimantan tengah dan tarif regional 5 meliputi provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Pada tarif rawat inap terdiri dari dari tarif rawat inap kelas 3, tarif rawat inap kelas 2 dan tarif rawat inap kelas 1.
“BPJS kesehatan sebetulnya merupakan program yang dirancang dalam menjamin kesehatan masyarakat, dengan prinsip kegotong-royongan terutama bagi rakyat miskin yang kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan.Namun kenyataannya banyak kendala yang terjadi dilapangan, salah satunya keluhan dari provider BPJS di FKRTL tentang rendahnya tarif INA-CBG’s dibandingkan dengan biaya riil dilapangan. Banyaknya kasus-kasus penyakit yang ditangani di rumah sakit yang membutuhkan biaya perawatan yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tarif INA-CBG’s membuat rumah sakit enggan merawat pasien jaminan BPJS, sehingga para pengguna BPJS tidak tertangani dengan baik,” jelasnya.
Menurutnya, praktek pemilihan jenis kasus yang akan diterima sesuai dengan besaran tarif INA-CBG’s bukan saja terjadi dikalangan swasta namun juga terjadi di kalangan rumah sakit pemerintah sehingga sistem layanan rujukan untuk kasus-kasus berat tidak berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Ketakutan para penyedia layanan kesehatan terutama rumah sakit sawasta akan kerugian dan beban yang akan ditanggung atas selisih biaya yang timbul, merupakan sebuah momok yang menakutkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Muslimah, Andayani, Pinson & Endarti (2017) yang meneliti tentang perbandingan biaya riil terhadap tarif INA-CBG’s penyakit stroke iskemik di RS. Bethesda Yogyakarta, dimana penelitian dilakukan selama 6 bulan dari 1 oktober 2015 sampai dengan 31 maret 2016 pada pasien rawat inap secara retrospektif dengan kriteria inklusi meliputi pasien JKN, stroke iskemik serangan pertama, onset kurang dari 24 jam dan non rujukan.
“Berdasarkan karakteristik lama rawat inap, kelas rawat inap terdapat pengaruh yang signifikan terhadap biaya riil pasien stroke iskemik rawat inap (p < 0,05) sehingga disimpulkan bahwa dana tarif INA-CBG’s tidak mencukupi dalam membiayai perawatan pasien stroke iskemik di rumah sakit Bethesda Yogyakarta,” pungkasnya.
Penelitian Mawaddah dan Tasminatun (2015) tentang analisis perbedaan pembiayaan berbasis tarif INA-CBG’s dengan tarif riil rumah sakit pada pasien peserta JKN kasus Diabetes mellitus tipe II rawat inap kelas 3 di rumah sakit Kalisat Jember, pada bulan Januari sampai Juni 2015. Hasil analisa data terdapat pengaruh yang signifikan antara tarif riil dengan tarif Paket INA-CBG’s pada pembayaran klaim pasien diabetes mellitus tipe II rawat inap di RS. Kalisat (P = 0,000). Perbedaan tarif riil dengan tarif paket INA-CBG’s dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lama rawat, tindakan medis, biaya farmasi/obat-obatan.
Penerapan kebijakan standar tarif berdasarkan PMK no. 4 tahun 2017 akan berimplikasi terhadap pelayanan pasien BPJS, antara lain yaitu terjadinya praktek memilih-milih kasus yang dianggap menguntungkan dan menolak kasus yang merugikan demi menjaga stabilisasi perekonomian rumah sakit.
“Para penyedia layanan kesehatan akan melakukan efisiensi disemua aspek yang berdampak terhadap penurunan mutu pelayanan BPJS, perlakuan diskriminasi bisa saja terjadi antara pasien umum dengan pasien BPJS,” terang Herulim.
Pasien akan kesulitan dalam mencari tempat rujukan untuk kasus-kasus yang memerlukan biaya perawatan yang besar/lama, misalnya pasien yang memerlukan perawatan di ruang ICU, NICU, tindakan operasi besar dan khusus, karena akan adanya kecenderungan dari pihak Rumah Sakit untuk mengatakan bahwa ruangannya penuh, peralatan tidak tersedia, dan lain sebagainya.Bisa berdampak pada meningkatnya kasus fraud/kecurangan di tatanan pelayanan kesehatan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang berdampak pada kerugian Negara.
Seperti rekomendasi kebijakan, perlunya semua stakeholder yang terlibat melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan yang sudah diberlakukan tentang standar tarif INA-CBG’s. Dalam hal ini, tentu Pemerintah diharapkan agar meninjau ulang PMK no. 4 tahun 2017 tentang standar tariff pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan, yang disesuaikan dengan beberapa aspek antara lain perkembangan IPTEK, status perekonomian, tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan lain sebagainya.
“Membentuk tim independen yang bertugas sebagai binis analisis yang akan melakukan penyesuaian tarif INA-CBG’s secara berkala dengan melibatkan berbagai sudut pandang seperti: sudut pandang masyarakat pengguna BPJS, sudut pandang dari penyedia layanan kesehatan (provider), sudut pandang dari tenaga kesehatan dan sudut pandang dari pemerintah itu sendiri,” tuturnya,
Kementerian Kesehatan pun agar berperan dalam menyususun dan merevisi standar tarif INA-CBG’s yang telah disusun, disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berbasis bukti (evident base practice) termasuk beberapa kasus lama maupun baru yang belum terdaftar dalam standar tarif INA-CBG’s, bekerjasama dengan lembaga penelitian untuk melakukan penelitian dilapangan terkait kesesuaian antara tarif INA-CBG’s dengan tarif riil di lapangan. Termasuk formularium obat-obatan, jasa tindakan, dan sebagainya yang berpengaruh terhadap variable tarif.
Dinas kesehatan pun diharapkan melakukan fungsinya sebagai evaluator, controler dan monitoring terhadap pelaksanaan PMK no. 4 tahun 2017 diwilayahnya termasuk menjembatani penyelesaian masalah yang dihadapi dilapangan, memberikan solusi penyelesaian masalah tarif INA-CBG’s kepada pihak pengambil keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung (dalam hal ini pemerintah).
“Melakukan analisa kesenjangan antara tarif INA-CBG’s dengan tarif riil dilapangan yang didasarkan pada aspek tarif regional dan aspek tarif kelompok rumah sakit, melakukan audit/survei kepuasan terhadap konsumen BPJS baik secara kuantitatif maupun kualitatif terkait penerapan PMK no. 4 tahun 2017. Konsumen yang dimaksud adalah pasien, provider BPJS, petugas kesehatan di FKRTL yang terlibat langsung,” bebernya.
Apabila rekomendasi diatas terlaksana dengan baik, maka kedepannya diharapkan pelayanan kesehatan terhadap pasien pengguna jaminan BPJS akan semakin baik, sehingga tujuan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia akan tercapai.(sam)