DUNIA telah memasuki era revolusi industri 4.0 atau revolusi digital yang menurut Lee et al (2013) ditandai dengan maraknya artificial intelligence (kecerdasan buatan), munculnya kecerdasan bisnis, peningkatan kekuatan komputasi, terbentuknya interaksi manusia dengan mesin, dan kemajuan instruksi transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika dan 3D printing.
Saat ini Indonesia memiliki tantangan besar yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Pertama, tahun ini ekonomi Indonesia menduduki peringkat ke 16 dunia dan pada tahun 2030 diharapkan naik ke peringkat 7 dunia. Kedua, saat ini Indonesia memiliki 55 juta tenaga ahli dibidang ekonomi dan pada tahun 2030 diprediksi akan membutuhkan 113 juta tenaga ahli. Ketiga, saat ini sektor layanan konsumen, sumber daya, agrikultur dan perikanan, serta pendidikan memiliki nilai pasaran $0,5 Triliun dan pada tahun 2030 ditargetkan dapat mencapai $1,8 Triliun. ( Sumber: Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential (McKinsey Global Institute, 2012)). Sektor pendidikan termasuk yang memiliki tantangan untuk wajah Indonesia ditahun 2030.
Apakah tenaga pendidik di Indonesia sudah siap menghadapi peserta didik dari generasi millenial?
Usia generasi millenial saat ini berkisar antara 19 sampai 39 tahun. Sedangkan jumlah tenaga pendidik saat ini lebih banyak dari generasi X (tahun lahir 1965-1979) dan generasi Baby Boom (tahun lahir 1946 sampai 1964). Pada tingkat SD terdapat 51 persen pendidik berasal dari kelompok umur 39 sampai 60. Pada tingkat SMP terdapat 63 persen pendidik berasal dari kelompok umur 39 sampai 60. Pada tingkat SMA terdapat 43 persen pendidik berasal dari kelompok umur 39 sampai 60. (Sumber: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan).
Berlatar belakang dari generasi yang berbeda menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik terdahulu untuk menghadapi peserta didik dari generasi digital native. Peserta didik memiliki ekspektasi yang tinggi bahwa pembelajaran akan menggunakan teknologi.Sedangkan tidak semua pendidik terdahulu memahami teknologi. Sehingga timbul permasalahan yaitu sebagian besar pendidikan di Indonesia masih menerapkan education 1.0 (pedagogi: teori pengajaran, dimana guru berusaha memahami bahan ajar, mengenal siswa dan menentukkan cara mengajarnya). Belum banyak transformasi ke education 2.0 (andragogi: guru berperan sebagai fasilitator, bukan menggurui, sehingga relasi antara guru dan peserta didik (murid, warga belajar) lebih bersifat multicomunication) dan education 3.0 (andragogi: menggunakan mobile learning). Namun ingin langsung menerapkan education 4.0 (heutagogi: pembelajaran yang ditentukan sendiri (mandiri) karena dunia telah memasuki era revolusi 4.0.
Oleh karena itu, yang dapat dilakukan adalah melakukan reorientasi kurikulum diperguruan tinggi, khususnya pada program studi keguruan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas calon tenaga pendidik di Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan era revolusi 4.0. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam reorientasi kurikulum (Aoun, MIT, 2017).
Pertama, mengembangkan literasi baru (data, teknologi, sumber daya) karena literasi lama (membaca, menulis, matematika) sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan di era revolusi 4.0. Literasi data artinya calon pendidik harus pandai membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi di dunia digital dan menerapkannya ke dalam teknologi. Literasi teknologi artinya calon pendidik mampu memahami cara kerja mesin dan aplikasi teknologi (Coding, Artificial Intelligence, & Engineering Principles). Literasi sumber daya bertujuan agar mahasiswa dengan berbagai latar belakang mampu bekerja dalam lingkungan yang berbeda (dalam maupun luar negeri).
Kedua, mengembangkan kegiatan ekstra kurikuler untuk pengembangan kepemimpinan dan bekerja dalam tim sesuai yang diatur dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 12 dan 13 menyebutkan bahwa pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, dan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Ketiga, mewajibkan entrepreneurship dan internship untuk menjadi kapasitas dasar yang dimiliki oleh semua mahasiswa. Entrepreneurship bertujuan agar mahasiswa dapat menemukan peluang dan membuat usaha yang bersifat inovatif dengan menggunakan teknologi yang sudah maupun belum tersedia. Sedangkan internship memiliki manfaat agar mahasiswa dapat merasakan dan mengetahui proses kerja disuatu perusahaan agar dapat diimplementasikan dalam perkuliahan.
Reorientasi kurikulum diharapkan dapat menjadi solusi untuk mencetak calon tenaga pendidik yang lebih berkulitas dan profesional untuk mencapai tujuan Indonesia ditahun 2030.
Penulis:
Annisa Mulia Nastiti
Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten