PERKEMBANGAN teknologi di dunia semakin canggih. bahkan dunia kini telah memasuki era revolusi industri 4.0, yakni era yang menekankan pada teknologi digital. Perkembangan yang sangat pesat pada ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia. Sebagaimana revolusi yang telah terjadi sebelumnya, revolusi industri pertama ditandai dengan adanya kemunculan mesin uap pada abad-18.
Revolusi pertama ini dicatat mampu menaikkan perekonomian secara dramatis. Selanjutnya, pada revolusi industri generasi kedua ditandai dengan adanya kemunculan pembangkit tenaga listrik dan motor pembakaran dalam (combustionchamber). Kemudian revolusi generasi ketiga ditandai dengan munculnya teknologi digital dan internet.
Lalu sekarang revolusi industri generasi keempat atau yang biasa kita sebut era revolusi 4.0 ditandai dengan munculnya superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik, dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak. Hal ini disampaikan oleh Klaus Schwab, Founder dan Executive Chairman of the World Economic Forum dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution.
Menurut Mohamad Nasir Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) berdasarkan evaluasi awal tentang kesiapan negara dalam menghadapi era revolusi 4.0, Indonesia diperkirakan sebagai negara dengan potensi tinggi. Terkait dengan global competitiveness index pada World Economic Forum 2017-2018, Indonesia menempati posisi ke-36, naik lima peringkat dari tahun sebelumnya posisi ke- 41 dari 137 negara.
“Tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand kita masih dibawah. Tahun ini global competitiveness index, Thailand diperingkat 32, Malaysia 23, dan Singapura 3. Beberapa penyebab Indonesia masih kalah, karena lemahnya higher education and training, science and technology readiness, dan innovation and business sophistication. Inilah yang perlu diperbaiki supaya daya saing kita tidak rendah” tutur Nasir dalam konfrensi pers di Gedung D Kemenristekdikti, Jakarta, Senin (29/1).
Nasir menyatakan saat ini sasaran strategis Kemenristekdikti dianggap masih relevan sehingga perubahan hanya dilakukan pada program dan model layanan yang lebih banyak menyediakan atau menggunakan teknologi digital (online). Kebijakan pendidikan tinggi pun harus disesuaikan dengan kondisi revolusi industri 4.0. Menurutnya, terdapat perubahan kebijakan dan program yang terkait dengan sumber daya iptek dikti, kelembagaan, pembelajaran dan kemahasiswaan serta riset dan pengembangan juga inovasi. Apakah ada pengaruh era revolusi 4.0 bagi perguruan tinggi?
Perguruan Tinggi merupakan lembaga formal yang diharapkan dapat melahirkan tenaga kerja yang kompeten dan siap menghadapi industri kerja yang kian berkembang. Salah satunya menghasilkan lulusan sebagai guru. Kesuksesan sebuah negara dalam menghadapi era revolusi 4.0, sangat erat kaitannya dengan inovasi yang diciptakan oleh sumber daya yang berkualitas, sehingga perguruan tinggi sebagai salah satu tempat melahirkannya tenaga kerja yang kompeten wajib dapat menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan dunia kerja di era globalisasi.
Tantangan yang dihadapi yaitu adanya rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi yang responsif terhadap revolusi, industri juga diperlukan untuk desain ulang kurikulum dengan pendekatan human digital dan keahlian berbasis digital. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, “Sistem perkuliahan berbasis teknologi informasi nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi yang berkualitas”.
Tantangan lain pun muncul, karena meskipun teknologi atau era digital sudah begitu banyak muncul yang ditandai dengan makin luasnya jangkauan internet, namun masih ada sebagaian wilayah di Indonesia yang masih belum terjangkau internet. Kondisi tersebut berdampak terhadap pelayanan pendidikan, juga masih banyak masyarakat yang terbatas dalam memanfaatkan teknologi atau bisa disebut juga minimnya masyarakat yang melek teknologi.
Jadi jika sekarang masyarakat telah beralih ke masyarakat digital, maka guru pun perlu segera mentransformasikan diri. Pada era ini, guru yang lebih banyak berperan sebagai fasilitator harus mampu memanfaatkan teknologi digital untuk membentuk pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan membuat suasana pembelajaran menjadi lebih menarik sehingga para peserta didik dapat memahami pembelajaran. Khususnya bagi generasi milenial yang akan menjadi pendidik masa depan harus mempunyai keahlian di bidang digital untuk memaksimalkan proses pembelajaran secara kreatif dan inovatif. Berbagai tantangan telah hadir di depan mata, sudah siap kah para generasi milenial menjadi pendidik masa depan di Era Revolusi 4.0.(*)
Penulis:
Bella Haryati,
Mahasiswi Universitas Sutan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten