PENDIDIKAN Profesi Guru (PPG) adalah pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus dalam menjadi guru. Pendidikan profesi guru harus ditempuh selama 1-2 tahun setelah seorang calon lulus dari program sarjana kependidikan maupun non sarjana kependidikan. PPG (Program Pendidikan Profesi Guru) merupakan program pengganti akta IV yang tidak berlaku mulai tahun 2005.
Banyak mahasiswa khususnya jurusan kependidikan mengeluh dengan adanya kebijakan setelah lulus sarjana. Untuk bisa menjadi guru serta sertifikasi harus mengikuti program PPG, selama satu tahun. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga melegalkan sarjana non kependidikan untuk menjadi guru profesional. Ke depan sarjana lulusan di luar FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) itu bersaing dengan sarjana yang empat tahun mengenyam kuliah kependidikan. Kebijakan membuka akses bagi sarjana non kependidikan untuk menjadi guru ini tertuang dalam Permendikbud 87/2013 tentang Pendidikan Profesi Guru Prajabatan (PPG). Sarjana dari fakultas non FKIP bebas mengajar mulai dari jenjang TK, SD, SMP, hingga SMA/sederajat.
Dari sisi tujuan tentunya PPG pasti mempunyai tujuan yang baik, yaitu untuk meningkatkan keprofesionalan guru. Tetapi yang disayangkan adalah hal ini berdampak pada proses pembelajaran dibangku kuliah. Banyak mahasiswa jurusan kependidikan beranggapan bahwa ketika kuliah di dalam kelas menjadi tak berarti lagi bagi mahasiswa jurusan kependidikan. Karena harus bersaing dengan sarjana non pendidikan untuk mengikuti dan lulus program PPG. Akibatnya semangat akademik pun menurun.
Di sisi lain banyak juga mahasiswa mempertanyakan gelar S.Pd-nya. Apakah setelah lulus sarjana dan tidak mengikuti PPG gelar itu akan sia-sia atau bahkan gelar tersebut akan hilang begitu saja. Sangat tidak mudah untuk bisa lulus dalam bangku kuliah, mulai dari KKN, kemudian skripsi dan lain sebagainya. Begitu banyak juga pengorbanan yang sudah diperjuangkan baik itu pikiran, tenaga maupun sisi finansial yang sulit dibayangkan berapa jumlahnya. Padahal dalam dunia akademik jurusan kependidikan di dalamnya tentunya sudah banyak materi maupun praktek yang didapat, yang sudah banyak mengandung unsur-unsur yang cukup untuk bisa menjadi seorang guru. Hampir disetiap mata kuliah diberi rambu-rambu bahwa nantinya mahasiswa akan mengajarkan materi yang telah disampaikan dosen kepada siswa, sehingga memantapkan tekad akademik untuk terus berjuang dengan sunguh-sunguh dalam mengeluti dunia pendidikan.
Hal lain yang membuat khawatir adalah biaya mengikuti PPG. Memang, program PPG ini sepenuhnya akan dibiayai oleh pemerintah, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2017 pasal 8 ayat 1. Namun, biaya PPG 2018 yang ditanggung tersebut tidak meliputi biaya untuk kebutuhan pribadi sehari-hari, seperti makan, minum, maupun transportasi selama satu tahun. Sehingga peserta PPG perlu menyediakan biaya pribadi sendiri yang tidak sedikit. Padahal sebagian besar mahasiwa juga masih menggantungkan hidupnya pada orang tuanya masing-masing. Harapan orang tua sendiri setelah selesai 4 tahun kebanyakan dari mereka menginginkan putra putrinya sudah dapat menempati profesi sebagai guru, mengingat pengorbanan dari orang tua sendiri juga tidak sedikit baik dalam materi maupun doa. Sehingga harapan mereka putra putrinya bisa mandiri dan mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhanya.
Inilah pro dan kontra dari adanya program PPG. Disamping mahasiswa yang khawatir tentunya juga orang tua yang mengalami ketidak nyamanan dengan fenomena ini. Bagaimanakah nasib para sarjana yang sudah lulus tetapi tidak bisa mengikuti PPG? Apakah nantinya akan terlantar, dan membebani negara, karena tingkat penganguran yang semakin tinggi dari tahun ke tahun? Bagaimanapun juga jika hal ini tidak diatasi dengan baik, maka akan menimbulkan masalah baru yang akan semakin memberatkan negara ini. Terdapat harapan yang sangat besar jika program pendidikan profesi guru ini dileburkan dalam proses pembelajaran 4 tahun masa kuliah, sehingga setelah lulus kuliah mhasiswa kependidikan sudah langsung menjadi guru dan dapat mengajar di sekolah.
Penulis:
Annisaa Nurul Hikmah,
Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.