PENDIDIKAN suatu bangsa tidak terlepas dari campur tangan guru yang berhadapan langsung dengan para siswa. Maka daripada itu, guru haruslah professional dalam menjalankan segala tugas yang ia emban, termasuk dalam menjalankan proses belajar mengajar di kelas. Guru dituntut untuk dapat membuat suasana belajar mengajar menjadi menyenangkan namun tetap dengan tujuan untuk mendidik agar apa yang disampaikan dapat dipahami. Guru pun dituntut untuk memiliki kepribadian yang baik, agar dapat ditiru oleh siswa-siswanya nanti. Dan untuk mewujudkan semua itu, semua calon guru diharapkan untuk mengikuti program peningkatan profesi guru yaitu pendidikan profesi guru (PPG).
Dengan mengikuti PPG pada lembaga pendidikan, masing-masing kualifikasi kependidikan selama setengah semester dengan beban 20 sks (satuan kredit semester) dan non-kependidikan selama satu tahun dengan beban sks yang lebih banyak yaitu 42 sks. PPG bertujuan untuk mencetak lulusan yang memiliki kompetensi guru yang bermutu, seperti memiliki kepribadian, sosial, profesional dan pedagogik. Sudah jelas lulusan dari kualifikasi pendidikan memiliki kompetensi ini karena sudah terasah pada saat pembelajaran di perkuliahan yang memang difokuskan menjadi guru profesional ketika terjun di masyarakat nantinya.
Akan tetapi, kondisi sekarang banyak guru yang belum mengikuti program PPG. Dari yang saat sebelum maupun sesudah diterapkannya PPG pada tahun 2013, sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia no 87 tahun 2013 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan. Banyak dari mereka yang merasa keberatan akan sistem yang harus mereka jalankan ketika mengikuti program tersebut. Biaya pun tak luput dari pandangan mereka yang tidak ingin dibebani kembali dengan suatu hal yang tak pasti. Banyak guru maupun calon guru yang menganggap bahwa dengan mengikuti PPG yang satu tahun lamanya akan merugikan mereka, baik itu materi maupun waktu.
Guru yang telah melaksanakan program sebelumnya, yaitu Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) menganggap PPG juga sangat merepotkan dan tidak praktis. Biayanya pun harus ditanggung oleh masing-masing individu walau sudah dinaungi oleh suatu instansi. Jika semua itu terus berlanjut, maka tidak mustahil akan banyak terciptanya guru-guru “instan”. Dengan PPG saja tidak menjamin 100 persen lulusannya akan menjadi seorang guru yang professional, apalagi jika tidak mengikutinya sama sekali. Guru maupun calon guru yang kurang memiliki jiwa berbagi ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengabdian tinggi kepada negaranyapasti akan mengganggap sepele tentang PPG.
PPG pun dianggap tidak adil bagi para lulusan yang memang berlatar belakang kependidikan. Mereka berujar untuk apa mereka merepotkan diri untuk kuliah kependidikan dengan biaya yang tidak sedikit, dimana saat mereka lulus masih harus mengikuti program keprofesian yang diikuti pula oleh lulusan yang non-kependidikan. Dengan begitu kualitas lulusan kependidikan dan non-kependidikan disetarakan dengan syarat lulus PPG.
Dengan segala pro kontra yang ada, saya tetap menganggap bahwa program PPG sangatlah perlu untuk di laksanakan bagi para calon guru maupun guru yang sudah mengajar pada suatu instansi. Pemerintah diharapkan untuk lebih tegas terhadap terciptanya guru-guru yang mumpuni di masa depan. Gencarkan kembali sosialisasi tentang pentingnya mengikuti PPG. Kaji ulang tentang kesiapan para guru maupun calon guru dalam mengikuti program tersebut, mulai dari waktu, tenaga serta biaya yang harus mereka korbankan. PPG bukanlah suatu hal yang harus dipaksakan untuk para guru maupun calon guru ikuti, melainkan suatu hal yang mereka anggap perlu dalam meningkatkan kualitas diri sebagai guru yang profesional.(*)
Penulis:
Ryan Agustian,
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.