DI ERA digital yang salah satunya dihuni oleh para generasi Z, memutuskan bekerja sebagai petani mungkin akan dianggap aneh karena tidak gaul alias kampungan. Di mata mereka, menjadi petani adalah profesi yang tidak prestisius dan tidak menjamin masa depan. Menurut dua pakar sejarah yakni William Strauss dan Neil Howe dalam bukunya menjelaskan bahwa generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya mulai dari segi pendidikan, etika kerja, ketahanan mental, modal, budaya serta penggunaan teknologi.
Generasi Z cenderung kurang mandiri dan ingin serba instan. Kebanyakan dari mereka lebih memilih bekerja di pabrik, kemudian setelah habis masa kontrak beralih menjadi karyawan toko ritel. Padahal jika dilakukan perbandingan, pendapatan dari dunia pertanian ternyata lebih menjanjikan daripada bekerja di pabrik jika dijalani dengan serius dan dikelola dengan baik. Karena hasil olahan pertanian merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dan selalu dibutuhkan setiap saat. Namun ironis, profesi petani nyaris kehilangan peminat.
Padahal Indonesia memiliki target untuk menjadi lumbung padi dunia pada 2045 mendatang. Namun ironisnya, di tengah tujuan sebesar itu, regenerasi petani justru kian lambat. Penyebabnya karena faktor urbanisasi anak muda pedesaan yang lebih tertarik mencari kerja di kota. Dalam Sensus Pertanian (SP) 2013, sekitar lima juta rumah tangga pedesaan berhenti bertani. Populasi petani yang ada sebagian besar yaitu 60 persen berusia 45 tahun dengan mayoritas sebesar 73 persen berpendidikan sekolah dasar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah kelompok umur pemuda 15-24 tahun mencapai 42 juta atau setara 16,5 persen dari total penduduk (BPS, 2015). Jumlah penduduk muda ini diperkirakan terus bertambah hingga 2030 dengan 26 persen tinggal di perkotaan dan 23 persen di pedesaan. Jumlah kaum muda yang penting ini sebenarnya potensial untuk menjadi pendorong produk pangan negeri.
Untuk meyakinkan potensi sektor pertanian dan menghilangkan skeptisisme dunia tani, generasi Z termasuk penulis sendiri hendaknya perlu meneladani semangat para petani muda era saat ini. Beberapa diantaranya seperti Nur Agis Aulia, pemuda asli Banten yang berhasil mendirikan Jawara Banten Farm di Desa Waringinkurung, Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, Banten.
Dibangun di area seluas sekitar 3.000 meter persegi, petani yang masih berusia 27 tahun ini memperoleh pendapatan setiap tahun, bulan, minggu, bahkan setiap hari. Penghasilan tahunan ia dapatkan dari hewan kurban dan sapi potong. Bulanan dari panen sayur dan aqiqah. Mingguan dari penjualan bibit serta penghasilan harian berasal dari penjualan susu kambing dan susu sapi. Lewat usahanya ini, ia juga berhasil memberdayakan masyarakat di sektor pertanian. Ia telah mematahkan anggapan bahwa bidang pertanian merupakan bisnis yang kurang menjanjikan.
Contoh lainnya seperti Madina Agriculture juga hadir sebagai solusi atas minimnya minat orang muda Indonesia untuk mengembangkan dan memajukan pangan negerinya. Bisnis ini memanfaatkan konsep sharing economy yang saat ini sedang menjadi trend, dengan mengajak orang-orang muda untuk bersinergi membangun kedaulatan pangan negerinya. Madina Agriculture berupaya menghadirkan dunia pertanian ketengah-tengah orang muda dengan lebih kreatif, inovatif dan menarik, bahwa bertani tidak lagi hanya sebatas mengenai mengolah lahan di sawah atau kebun saja, tapi bisa jauh lebih menarik dari itu, yaitu memanfaatkan berbagai teknologi yang tersedia.
Artinya konsep yang diusung Madina Agriculture menyesuaikan dengan karakteristik generasi muda saat ini yang tidak lepas dari kecanggihan teknologi, sehingga akan mudah untuk menarik minat generasi muda untuk bertani. Sejak awal tahun 2018, Madina Agriculture telah menempati lahan seluas 3 ha di Desa Cigabus, Taktakan, Serang, Banten. Usaha agribisnis yang dipimpin oleh Karim Amin ini, menanam berbagai macam sayuran dengan metode organik yang jauh lebih sehat dan memiliki nilai jual yang lebih baik.
Deretan usaha agribisnis yang sudah penulis sebutkan di atas, menjadi bukti dan mematahkan skeptisisme bahwa petani merupakan profesi yang prestisius. Mereka adalah para petani yang telah sukses di usia muda. Hal tersebut tentulah menjadi motivasi bagi kita sebagai generasi muda untuk ikut serta memajukan pembangunan pertanian di negeri agraris ini.(*)
Penulis:
Idoh Hafidoh, Yola Septiana Dewi dan Dr. Nina Yuliana, S.Sos., M.Si.,
Mahasiswa dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa