PERNAHKAH terbersit dalam pikiran anda, berada dalam suatu ruangan yang dipenuhi belasan hingga puluhan anak-anak, dan dibebankan untuk mengajar serta mendidik merekahingga menjadi pondasi untuk masa depan bangsa. Apabila anda pernah, selamat anda telah membayangkan diri anda adalah seorang guru. Tetapi, tahukah bahwa sebenarnya jalan untuk menjadi seorang Guru tidaklah mudah. Di Indonesia, seorang guru diharuskan memiliki sertifikat pendidik agar diakui oleh pemerintah sebagai guru yang profesional dan memiliki kelegalan dalam mengajar.
Untuk mencapai predikat seorang guru yang profesional, lulusan kampus kependidikan harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sebelum lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen, para sarjana pendidikan lulusan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP) sudah “otomatis” berhak menjadi guru. Sebab selain dibekali ijazah dari kampus, pun mereka mendapatkan Akta IV sebagai “SIM” untuk mengajar di sekolah.
Saat ini, setelah keluarnya peraturan di bawah UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005, seperti PP tentang Guru No 19 tahun 2017, Permendikbud tentang Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan No 87 tahun 2013 serta Permenristekdikti tentang Standar Pendidikan Guru No 55 tahun 2017 bahwa untuk menjadi guru sebagai sebuah profesi, maka seorang lulusan sarjana pendidikan (S.Pd) mesti mengikuti kuliah Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama setahun. Selesai kuliah selama setahun, jika lulus seorang sarjana pendidikan tadi dapat sertifikat pendidik dan berhak menjadi guru dengan titel Gr. Tidak mudah bukan untuk menjadi guru yang diakui profesional oleh pemerintah?
Padahal apabila ditelusuri lebih lanjut, PPG sendiri justru merugikan mahasiswa kejuruan pendidikan, mari kita lihat kutipan Peraturan Pemerintah No. 74/2008 tentang Guru, yakni pada Bagian Kedua tentang Sertifikasi pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi dari kampus kependidikan yang baik dan terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh Pemerintah. Bagaimana? Cukup rancu bukan? Jadi, program pendidikan profesi guru yang dimaksud pada kalimat tersebut adalah suatu program pendidikan baru yang hanya mempelajari mengenai pendidikan profesi atau program pendidikan yang selama ini dilakukan oleh kampus-kampus kependidikan.
Hal ini tentunya mengundang pertanyaan, memangnya selama ini kampus-kampus kependidikan tersebut tidak mencetak guru-guru berkualitas? Memangnya gelar S.Pd yang telah mereka raih di kampusnya selama ini tidak mencetak mereka sebagai sebuah profesi? Apakah ketika mahasiswa kampus keguruan tersebut lulus dan kemudian mengajardi sekolah, mereka tidak dapat disebut “berprofesi sebagai guru”? Jangan-jangan selama ini, adanya PPG merupakan suatu kesalahan dalam rangka mencetak guru yang profesional.
Jangan mengibaratkan guru seperti profesi lainnya, layaknya dokter ataupun advokat. Seorang yang telah lulus dari pendidikan kedokteran, memang perlu untuk mengikuti pendidikan profesi lebih lanjut, karena kemudian bidang kerjanya akan lebih spesifik. Seperti spesialis gigi, jantung, THT, dan lainnya. Begitu juga dengan advokat. Sedangkan guru, sudah memiliki spesifikasi dalam pendidikan S1 yakni dengan adanya Pendidikan Biologi, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan lainnya.
Lantas pendidikan profesi guru sebenarnya untuk apa? Apabila alasannya guru-guru tidak atau kurang profesional, yang harusnya dibenahi adalah pendidikan di S1, bukannya membuat program pendidikan baru dengan format mengatasnamakan keprofesionalan. Lahirnya PPG jelas merugikan mahasiswa S1 program kependidikan , karena apa yang mereka korbankan di pendidikan S1 seperti biaya, tenaga, pikiran, dan waktu akan terulang kembali di PPG karena ketika lulus mereka diharuskan untuk mengikuti pendidikan profesi untuk bisa disebut guru yang bersertifikasi dan profesional.
Sekarang kita lihat bentuk operasional PPG, yakni salah satu jenisnya adalah PPG pasca S1 kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S1 kependidikan dengan struktur kurikulum subject specific paedagogy (pendidikan bidang studi) dan PPL Kependidikan. Memangnya mahasiswa kependidikan S1 tidak belajar pendidikan bidang studi, tidak melaksanakan PPLK? Ini juga dikeluhkan oleh beberapa guru SMA saat saya mewawancarai beliau diamana mereka mempertanyakan perbedaan antara perkuliahan di S1 dan PPG, karena mereka merasa sama saja, ada penugasan, ada diskusi, bahkan adanya kegiatan seperti PPLK.
Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Profesi Guru sejatinya tidak jauh berbeda dengan kependidikan di S1, pendidikan profesi memang perlu, tapi alangkah lebih baik jika pendidikan profesi ini menjadi bagian dari S1 kependidikan, tidak terpisah dengan nama PPG, dengan ini Pemerintah dapat memperbaiki kualitas pembelajaran di S1. Apabila PPG tetap berjalan, pun lebih baik mahasiswa yang ingin masuk ke jurusan pendidikan harus berpikir panjang, karena baik lulusan pendidik dan non pendidik tetap harus melalui PPG. Ini artinya, lulusan kependidikan masih dicap belum profesional dan kompeten untuk terjun di dunia kependidikan oleh Pemerintah negeri kita tercinta.(*)
Penulis:
Muhammad Akbar,
Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.