UPAYA untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru tampaknya mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap profesi guru. Terlebih lagi sekarang dengan berlakunya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), Indonesia dituntut untuk mempersiapkan pendidik dalam negeri agar memiliki profesionalisme yang tinggi dan mampu bersaing dengan negara asing. Sejauh ini pemerintah telah melakukan berbagai strategi sebagai upaya peningkatan kualitas pendidik terutama guru baik dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan serta program non-pendidikan, diantarannya In-House Training (IHT), Program Magang, Kemitraan Sekolah, Belajar Jarak Jauh, Pelatihan Berjenjang dan Pelatihan Khusus, Kursus singkat di LPTK atau lembaga pendidikan lainnya, Pembinaan Internal oleh Sekolah, serta Pendidikan Lanjut (Pangestika & Alfarisa, 2015).
Dewasa ini, pemerintah berupaya meningkatkan kualifikasi serta kompetensi guru dengan diselenggarakannya program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Garis besar bentuk dan pelaksanaan PPG sudah diatur dalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru yang kemudian dijabarkan dalam Pemerdiknas No. 8 Tahun 2009 tentang Pendidikan Guru Pra Jabatan. Untuk program PPG Pra Jabatan sendiri pemerintah memberikan keringanan dengan adanya PPG Pra Jabatan Bersubdi dengan salah satu syarat yaitu calon pendaftar belum berstatus menikah/kawin. Salah satu syarat ini nampaknya menjadikan beberapa orang memberikan respon kurang setuju. Menurut mereka hal ini memberatkan bagi mereka yang ingin/sudah menikah untuk ikut mendaftar PPG karena mereka tidak bisa mendaftar PPG bersubsidi sehingga mengakibatkan mereka harus mendaftar PPG non subsidi.
Oleh karena itu pada saat ini minat para guru untuk mendaftar PPG masih minim/kurang terutama para fresh graduate, karena mereka lebih memilih untuk melanjutkan jenjang pendidikan mereka ke S2 dibanding jika dengan mendaftar PPG. Karena dirasa pembayaran PPG sama besarnya dengan UKT untuk program Pascasarjana. Seperti halnya yang dikatakan oleh Monica salah satu mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa “Dibanding ikut PPG lebih baik lanjut S2 dulu, bayarnya juga sama-sama mahal”. Selain itu, kurangnya minat para guru mendaftar PPG yaitu pembayaran (UKT) PPG yang dirasa sangat mahal dan persyaratan yang terlalu ribet untuk diikuti.
Dengan diselenggarakannya program Pendidikan Profesi Guru ini seharusnya dapat memacu dan memotivasi para guru untuk bisa meningkatkan dan mengembangkan kompetensi pendidik yang dirasa memang belum sepenuhnya dikuasai oleh para pendidik. Terutama dengan adanya tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji seperti yang telah disebutkan dalam UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 16. Tunjangan tersebut berlaku bagi PNS maupun guru yayasan sekolah swasta yang besarnya diekuivalenkan dengan guru PNS yang setara. Dengan demikian pada saatnya guru di Indonesia merupakan lulusan PPG dan mendapat gaji plus tunjangan profesi atau sama dengan gaji double. Selain itu, mereka yang nantinya lulus PPG akan mendapat sertifikat sebagai pendidik (guru) professional dan mendapatkan gelar Gr sebagai ciri bahwa dia adalah seorang guru yang sudah profesional.
Pendidikan profesi guru sebagai program pemerintah yang sudah mempunyai payung hukum sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru membawa konsekuensi terhadap pemerintah dan LPTK penyelenggara, untuk memiliki komitmen yang tinggi dan serius untuk dapat menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru secara baik. Oleh karena itu, setiap LPTK penyelenggara dituntut harus taat asas dalam menyelenggarakan PPG, sehingga pada penerimaan jumlah mahasiswa harus dibatasi sesuai dengan data kebutuhan guru secara nasional dan tidak menimbulkan kelebihan jumlah guru. Maka dari itu calon guru (lulusan S1 LPTK) sebagai sasaran yang akan mengikuti Pendidikan Profesi Guru sudah seharusnya untuk mensikapi dan menyiapkan diri secara akademik dan non akademik. Sehingga pada saatnya akan memiliki mental dan karakter yang kuat sebagai seorang guru.(*)
Penulis:
Monica Sayuri,
Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.