Kabupaten Aceh Tengah, spiritnews.co.id – Sejumlah elemen masyarakat Aceh Tengah berdiskusi tentang upaya mempertahankan hutan adat, situs budaya dan keberlangsungan Kopi Gayo.
Diskusi yang dilakukan merupakan inisiatif dari LSM Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jangko) didukung oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah, Balai Arkeologi Medan dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Koordinator Jangko, Maharadi, mengatakan, diskusi ini dilatarbelakangi kondisi sumber daya alam (SDA) Gayo yang melimpah dan harus dikelola dengan cara baik agar memberi kemanfaatan bagi masyarakat.
“Pengelolaan hutan adat menjadi solusi bagi masyarakat agar mampu hidup berdampingan dengan alam,” kata Maharadi ketika pembukaan diskusi, Minggu (26/05/2019) di Gedung Pendari Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar, mengatakan, upaya pelepasan sebagian kawasan hutan sangat mendesak, karena didalamnya terdapat rumah penduduk, lahan pertanian masyarakat dan beberapa situs budaya.
“Diskusi yang dilakukan kami harap dapat memberi rekomendasi kepada Pemerintah tentang perlunya peninjauan kembali lahan masyarakat yang masuk dalam kawasan hutan,” ujar Shabela.
Menurutnya, saat ini 77 persen wilayah Aceh Tengah adalah kawasan hutan, hanya 23 persen Areal Penggunaan Lain (APL) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sementara masyarakat butuh kepastian untuk berusaha menggarap lahan pertanian mereka yang sebagian besar adalah Kopi Arabika Gayo.
Upaya Pemkab Aceh Tengah untuk melepas sebagian kawasan hutan menjadi APL sudah dilakukan dalam berbagai pertemuan dengan beberapa pejabat kementerian terkait.
“Ada kabar gembira dengan diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.21/menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019, kawasan hutan negara yang sudah diusahakan oleh masyarakat akan kita usulkan menjadi hutan adat atau hutan hak,” ungkapnya.(mah)