Jakarta, spiritnews.co.id – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terus mempersiapkan tenaga kerja Indonesia agar mampu beradaptasi, berdaya saing dan bertahan di tengah perubahan dunia kerja. Salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi SDM agar kompeten dan berdaya saing yakni dengan pelatihan vokasi.
Untuk meningkatkan kualitas program vokasi, selain berbagai kebijakan dan program Kemnaker, perlu implementasi program ‘3R’. Yakni re-orientasi, revitalisasi dan re-branding Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah.
“Re-orientasi, lanjutnya, merupakan upaya untuk meninjau kejuruan atau pelatihan apa yang saat ini dibutuhkan dan tidak dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan industri masa kini. Revitalisasi dibutuhkan untuk meningkatkan instruktur pelatihan dan metode pelatihan yang digunakan. Terakhir re-branding diperlukan bukan hanya sebagai polesan, tapi juga mengubah persepsi bahwa pelatihan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan,” kata Staf Ahli Kemnaker Bidang Ekonomi dan SDM, Aris Wahyudi seusai mengikuti diskusi ketenagakerjaan bertema “Menyongsong Revolusi Industri 4.0, Melalui Pelatihan Vokasi : Perkuat Daya Saing Sumber Daya Manusia”, di Ruang Tripartit Kemenaker, Senin (23/9/2019).
Dirjen Binalattas Kemnaker, Bambang Satrio Lelono mengakui diperlukan kolaborasi antar-instansi pemerintah, pemerintah dan swasta maupun stakeholder (pemangku kepentingan) lainnya, dalam pelatihan vokasi untuk meningkatkan daya saing menyongsong era digitalisasi Revolusi Industri 4.0. Kolaborasi antar pemerintah dan pemerintah-swasta tersebut selain untuk menciptakan ekosistem pengembangan SDM yang adaptif juga sejalan arahan Presiden Joko Widodo untuk prioritas pembangunan SDM.
“Salah satu bentuk kolaborasi tersebut, pemerintah (Kemenaker), Akademisi (UGM), dan Asosiasi Industri (Kadin dan Apindo) telah berinisiatif membentuk Komite Pelatihan Vokasi Nasional (KPVN) pada tahun 2017 untuk memperkuat sistem vokasi,“ kata Bambang.
Menurutnya, Kemnaker tidak bisa bekerja sendiri untuk mengembangkan SDM, terkait bonus demografi. Meski memiliki strategi pelatihan vokasi yakni penguatan mutu dan akses pelatihan, tapi Kemnaker tetap membutuhkan penyesuaian program-program pelatihan dengan kebutuhan yang akan datang.
“Kita bersinergi dengan industri karena yang paling tahu kebutuhan tenaga kerja di industri adalah mereka. Makanya, kita membentuk KPVN untuk menyiapkan peta jalan sistem pelatihan vokasi sesuai kebutuhan pasar kerja,“ katanya seraya menyebut KPVN berperan strategis untuk mendorong peningkatan mutu SDM, peningkatan produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi melalui beberapa program.
Ia menjelaskan, grand design pelatihan vokasi nasional sudah ada sejak tahun lalu, dan sudah 90 persen, serta akan menjadi dasar pelatihan vokasi di Indonesia.
“Dalam waktu dekat akan segera diinformasikan kepada semua pihak bahwa Kemnaker akan menjadi koordinator pelatihan vokasi nasional,” ujarnya.
Wakil Ketum Kadin Indonesia, Anton J Supit, mengatakan, menghadapi pasar kerja semakin dinamis dalam era Revolusi Industri 4.0 saat ini, kolaborasi menjadi kunci dalam menyiapkan sistem vokasi yang adaptif terhadap perkembangan kebutuhan pasar kerja.
“Inti dari RI 4.0 yakni kolaborasi antara pemerintah dengan pengusaha, mesin dengan manusia, apalagi (kolaborasi) sesama pemerintah pusat,“ kata Anton.
Anton menilai Malaysia maju dalam SDM, karena kordinasi pembangunan SDM dipimpin oleh Mahatir Mohammad. Negeri Jiran itu membutuhkan waktu 8 tahun untuk mendirikan sejenis Komite Vokasi Nasional.
“Di Malaysia jelas pembagian tugas, ada enam kementerian terlibat. Kementerian Pendidikan, Kementerian Tenaga Kerja (SDM), Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan. Bicara pelatihan, leading sector Kementerian SDM (tenaga kerja), bicara pendidikan, leading sector (Kemendikbud),“ jelasnya.
Karena itu, Anton berpendapat pelatihan vokasi membutuhkan dukungan industri-industri di tanah air. Anton berharap Kemenperin mestinya memberikan informasi jobs apa saja yang perlu dilatih oleh Kemnaker dan jobs apa saja yang masuk kurikulum di dalam SMK, dalam hal ini Kemendikbud.
“Kita harapkan kordinasi ini berjalan efektif dan cepat. Waktunya singkat, karena bonus demografi 2030-2035, kita sudah fase menurun. Sudah mendesak kita contoh kordinasi seperti di Malaysia,“ ucapnya.
Direktur UNI Global Union Asia Pasifik Kun Wardhana mengatakan Kun Wardana Abyoto mengatakan saat ini, masih ada beberapa pekerja yang belum sadar atas kesiapannya menghadapi RI 4.0. Sementara di sisi lain masih banyak peluang yang bisa dimanfaatkan peranannya oleh serikat pekerja itu sendiri.
“Untuk bisa memanfaatkannya tersebut, kunci keberhasilannya yakni dengan mengoptimalkan dialog sosial dan kolaborasi berupa kemitraan,“ kata anggota KPVN itu.
Kun mengungkapkan ada tiga tantangan yang dihadapi serikat pekerja dalam menghadapi transformasi ketenagakerjaan. Pertama Awareness ; kurangnya tingkat kesadaran serikat pekerja akan dampak dari adanya IR 4.0 terhadap keberlangsungan pekerjaan dan pelatihan vokasi. Kedua, fokus; masih minimnya kesadaran atas pentingnya peningkatan skill yang dimiliki bagi serikat pekerja.
“Ketiga, Fragmentasi, masih belum adanya common goals/tujuan bersama satu sama lain terkait pembangunan SDM,“ ujar Anggota Dewan Pakar Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia.(rls/sir)