Kabupaten Bandung Barat, spiritnews.co.id – Nunung Saefulloh, warga Kampung Cikamuning, RT 001/020, Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, menagih janji sisa pembayaran tanah mereka yang terkena proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Pasalnya, sudah dua tahun tanah sawah milik mereka tidak bisa dimanfaatkan karena sudah terkepung oleh mega proyek tersebut, sehingga dampaknya sangat dirasakan warga yang mengaku kehilangan sumber penghasilannya dari menanam padi.
Pasangan suami istri Nunung Saefulloh (59) dan Ani Sriyani (52) menjadi salah satu warga yang merasakan ketidakadilan proses pembebasan lahan bagi kepentingan proyek nasional tersebut.
Tanah sawah miliknya yang awalnya seluas 1.062 meter persegi setelah dilakukan pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)Kabupaten Bandung Barat, justru mengalami penyusutan.
Pada pengukuran pertama tanahnya menjadi 900 meter persegi, setelah melayangkan protes dan dilakukan pengukuran ulang justru hanya 854 meter persegi.
“Aneh dan hal yang ganjil terjadi penguk rian oleh BPN, pada saat pertama diukur hanya 900 meter, lalu diukur lagi jadi tinggal 854 meter. Pas saya tanya sisanya kemana mereka (BPN) jawabnya tidak tahu. Kan aneh,” kata Nunung saat ditemui di rumahnya, Jumat (25/10/2019).
Dia menjelaskan, tanah sawah miliknya yang terkena proyek kereta cepat berada di Kampung Blok Cikalapa, Desa Bojongkoneng, Kecamatan Ngamprah, KBB. Dirinya pun sudah ‘mengikhlaskan’ ukuran tanahnya berkurang.
Namun yang masih dituntutnya kini adalah pembayaran kompensasi dari lahannya tersebut.
Dari total lahan 854 meter persegi, yang sudah dibayar oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), baru di peta bidang 23 senilai Rp223 juta dan peta bidang 24 senilai Rp169 juta.
“Yang baru dibayar itu, sementara sisa lahan total seluas 465 meter persegi hingga kini belum dibayar padahal lahannya sudah dipakai untuk proyek kereta cepat,” kata Nunung.
Ani Sriyani menambahkan, dia dan suaminya hanya menuntut apa yang menjadi haknya. Lahan itu adalah sumber penghasilan bagi sekolah anak-anaknya dan investasi di hari tua.
Namun demi kepentingan proyek nasional aset tersebut terpaksa harus dilepaskan. Sebagai rakyat kecil dirinya hanya menuntut keadilan dan pembayaran atas apa yang menjadi haknya.
Namun hingga kini hal tersebut belum terealisasi padahal berbagai upaya sudah dilakukan termasuk mengadu ke berbagai pihak.
“Yang belum dibayar itu di peta bidang 160 seluas 262 meter plus tanah sisa 4 meter, peta bidang 23 tanah sisa 56 meter, peta bidang 24 tanah sisa 143 meter, jadi totalnya 465 meter. Itu hak kami yang harus dibayar makanya kami akan tuntut terus, apalagi pemerintah kan gembar-gembornya akan ganti untung,” kata dia.(gus)