Jakarta, spiritnews.co.id – Ketika membangun bahtera rumah tangga, setiap pasangan pasti berharap rumah tangga yang dibangunnya mendatangkan bahagia buat kedua belah pihak. Namun sayangnya, minimnya pendidikan pranikah membuat setiap pasangan harus belajar banyak hal baru tentang rumah tangganya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh menyayangkan pendidikan pranikah di Indonesia sangat minim dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Padahal, setiap pasangan pengantin khususnya mereka yang masih berusia muda sangat memerlukannya.
“Pendidikan pranikah di Indonesia masih sangat rendah. Banyak yang masih bingung ketika sudah menikah dan melahirkan mau ngapain?,” kata Ninik (sapaan akrabnya) saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional tentang Demokratisasi dan Kesehatan yang digelar Habibie Center di Jakarta, Kamis 14 November 2019.
Ketua Bidang Kesehatan dan Inklusi Disabilitas DPP PKB ini menilai terbitnya revisi UU Pernikahan perihal usia nikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun menjadi salah satu terobosan pemerintah menggalakkan pendidikan pranikah.
Kendati belum optimal, menurut Ninik, perubahan batas minimal usia nikah adalah wujud pencegahan kekerasan dan keretakan biduk rumah tangga yang akan dijalani oleh kaum muda.
“Saya setuju optimalisasi pencegahan, bukan mengobati. Kalau mengobati butuh waktu lama, tapi pencegahan bisa kita lakukan melalui pendidikan yang paling dasar. Karena itu saya apresiasi perubahan UU pernikahan dari 16 tahun menjadi 19 tahun,” tutur dia.
Dalam diskusi yang diikuti oleh ratusan peserta ini, Ninik juga menyinggung soal isu kesehatan, terutama soal stunting. Menurut dia, untuk tahun 2020 anggaran stunting mencapai 26 T untuk 7 Kementerian dan 1 Lembaga.
Kendati demikian, Ninik meragukan faliditas data stunting yang ada saat ini. Dia meminta pihak-pihak terkait untuk memperbiki data stunting seluruh Indonesia agar pencegahan stunting bisa lebih optimal dan tepat sasaran.
“Kalau melihat anggaran di atas dan yang kita lakukan adalah pendidikan, saya yakin semua masalah Kesehatan bisa diatasi. Hanya saja apakah data terkait stunting sudah riil? Apakah memang 30%? Jangan-jangan lebih,” kata dia.
Legislator asal Banyuwangi ini menambhakan, anggaran untuk kesehatan mencapai 5,2%, sekitar 132 T dari total APBN untuk seluruh Kementerian terkait. Khusus Kemenkes, anggarannya mencapai 57 T, itupun 2,8 T untuk BPJS yang defisitnya akhir tahun ini mencapai 32,8 Triliun.
“Makanya saya harus pakai mengancam segala pas rapat (Rapat Dengar Pendapat dengan kemenkes, BPJS Kesehatan dan DJSN) kemarin,” ungkapnya.
Selain Ninik, turut hadir dalam diskusi tersebut Ketua Pokja Antropometri FKUI-RSCM, dr. Damayanti R. Sjarif, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes, dr. Kirana Pritasari, dan Associate Fellow Habibie Center, drg. Widya Leksmanawati Habibie.(rls/sir)