Kabupaten Pemalang, spiritnews.co.id – Sedikitnya 300 orang petani penggarap lahan eks HGU yang tergabung dalam Kelompok Tani Bakti Mandiri menduduki kantor Balai Desa Sikasur, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Senin (9/12/2019).
Nasir, salah seorang petani, mengatakan, petani menyampaikan tuntutan agar kepala desa mencabut surat yang mendiskreditkan petani penggarap lahan. Inti surat kepala desa yang diprotes warga adalah permintaan kepala desa agar seluruh lahan eks HGU diberikan kepada desa sebagai kas desa.
“Kasus ini bermula dari adanya HGU terlantar yang telah puluhan tahun ditempati dan digarap oleh petani penggarap dari Dusun Sodong Desa Sikasur, dan desa-desa sekitar. HGU perkebunan telah masuk dalam indikasi tanah terlantar sejak 2011 dan selanjutnya habis jangka waktunya pada Desember 2015,” kata Nasir dalam rilis yang diterima redaksi spiritnews.co.id, Selasa (10/12/2019).
Dikatakan, kasus ini telah disinggung dan skema terdistribusinya telah disampaikan di hadapan Presiden Republik Indonesia tanggal 10 Oktober 2019, dan telah dibahas dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta telah dikunjungi oleh Dirjen Penanganan Masalah Pertanahan pada Rabu, 6 November 2019.
“Kami telah memperjuangkan penyelesaian kasus bertahun-tahun dari Kantor Pertanahan Pemalang, Kanwil ATR/BPN Jateng, hingga Kementerian ATR/BPN di Jakarta. Saya menyayangkan sikap kepala desa. Dari awal kepala desa bukan mendukung tetapi menghalangi-halangi penyelesaian kasus. Sejak awal ketika baik di Dinas Perkebunan dan di Kantor Pertanahan. Kaan lucu dan tidak etis dulu menghalangi sekarang mau minta bagian,” katanya.
Terkait pihak-pihak lain yang menyampaikan protes dan menghalang-halangi redistribusi dan meminta agar redistribusi lahan hanya diberikan kepada warga Dusun Sodong Desa Sikasur, Hanafi, pendamping petani menyatakan keheranannya.
“Ini organisasi apa, badan hukum tidak ada, selalu berubah-ubah nama, tidak pernah berjuang, bukan petani penggarap lahan, hubungan hajad idupnya dengan lahan tidak jelas, lah kokg tiba-tiba setelah kasusnya selesai karena kami bersama Bakti Mandiri berjuang, lha kog tiba-tiba minta. Patut diduga ada kepentingan terselubung yang tidak bertanggungjawab,” jelasnya.
“Tidak mungkin seluruh HGU diberikan sebagai tanah kas desa, atau diberikan hanya kepada warga Sodong dan mengusir penggarap dari desa sekitar yang sudah bertahun-tahun menggarap disitu. Sangat tidak berperikemanusiaan, mereka yang tidak berjuang lalu minta lahan dan mengusir petani penggarap yang sudah menggarap lahan dan berjuang selama ini,” tambahnya.
Warga Dusun Sodong Desa Sikasur, Hanafi, mengaku, pihaknya juga telah melaporkan kepada Polres Pemalang sejumlah nama-nama yang melakukan penggeroyokan dengan kekerasan terhadap pendamping dari Yayasan Gema serta melakukan perusakan jalan perkebunan untuk menghambat kedatangan Dirjen dan pejabat berwenang dari Kementerian ATR/BPN.
“Reforma Agraria Presiden Joko Widodo harus berjalan, dan jajaran Kementerian ATR/BPN seharusnya tidak takut pada gertakan kecil dari orang-orang tak bertanggungjawab, demikian pungkas Hanafi di sela-sela dialog bersama Wakil Menteri ATR. Tapi jika ATR/BPN meminta kami menyelesaikan,” kata Hanafi.
“Kami akan melakukan langkah penyelesaian lapangan untuk memastikan bahwa perjuangan petani penggarap lahan dan proses reforma agraria tidak diganggu oleh kepentingan-kepentingan segelintir orang tidak bertanggung jawab, bukan petani penggarap, mereka yang tidak berjuang, bahkan menghalang-halangi, tapi kini begitu kemenangan di depan mata, dengan tidak tahu malu meminta bagian lahan dan mengusir petani yang telah berjuang dan bergantung hidupnya pada lahan tersebut,” tambahnya.(rls/sir)