Jakarta, spiritnews.co.id – Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menegaskan Rancangan Undang-Undang (RUU)/Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dibahas secara komprehensif dengan memperhatikan kepentingan seluruh pihak. Meskipun goals RUU ini adalah menciptakan lapangan kerja melalui pengembangan investasi, Ida menyatakan bahwa pelindungan bagi pekerja/buruh tetap diperkuat.
“Di dada kami ada buruh. Kita fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan pelindungan serta kesejahteraan pekerja dalam omnibus law,” Ida di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Ia membuka ruang dialog dengan berdiskusi perwakilan serikat buruh mengenai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Dalam kesempatan ini presidium serikat pekerja/serikat (SP/SB) yang terdiri dari perwakilan beberapa konfederasi SP/SB.
Dijelaskan, salah satu isi pembahasan omnibus law adalah pekerja dengan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak, dipastikan mendapatkan hak dan pelindungan yang sama dengan pekerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Hak tersebut antara lain: hak atas upah, jaminan sosial, pelindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dan hak atas pengakhiran atau putusnya hubungan kerja. “Jadi tidak benar, habis kontrak nggak ada kompensasi bagi pekerja,” kata Ida
Ia juga memastikan, pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetap mendapatkan kompensasi PHK sesuai ketentuan. “Selain menerima kompensasi PHK, pekerja ter-PHK mendapat pelindungan jaminan sosial berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP),” jelasnya.
Selain itu, Ida menyebut bahwa sistem Upah Minimun (UM) tetap ada dalam omnibus law. Dimana UM hanya berlaku untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Perusahaan juga diwajibkan menerapkan Struktur dan Skala Upah untuk pekerja dengan masa kerja di atas 1 tahun.
“UM tetap ada sebagai jaring pengaman dan tidak dapat ditangguhkan. Omnibus law juga akan membuat waktu kerja menjadi lebih fleksibel, dimana pekerja dan pengusaha diberikan keleluasaan dalam menyepakati waktu kerja. Hal ini untuk memfasilitasi jenis pekerjaan tertentu yang sistem waktu kerjanya di bawah 8 jam per hari atau 40 jam per minggu,” paparnya.(rls/sir)