Kota Bogor, spiritnews.co.id – Pengamat Politik asal Bogor, Yusfitriadi mengikritik Presiden Jokowi yang menyebut istilah darurat sipil, terkait corona karena dinilai berpotensi menimbulkan kegaduhan baru.
“Penyebutan itu bagi saya sangat tidak perlu,” kata Yusfitriadi kepada spiritnews.co.id, Senin (30/3/2020).
Presiden Jokowi menyebut istilah darurat sipil dalam kaitan pembatasan sosial berskala besar dilakukan lebih tegas dan disiplin.
“Presiden Joko Widodo meminta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan phisycal distancing (jaga jarak aman) dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif agar memutus mata rantai persebaran virus korona atau Covid-19. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan usulan pemberlakuan Darurat Sipil supaya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dapat dijalankan secara efektif,” kata Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, Senin (30/3/2020).
Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie, menerangkan, keadaan darurat sipil merupakan keadaan darurat yang tingkatan bahayanya dianggap paling rendah dalam arti paling sedikit ancaman bahayanya. Karena tingkatan bahayanya yang demikian itu, tidak diperlukan operasi
penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer.
“Sekiranya pun anggota tentara atau pasukan militer diperlukan untuk mengatasi keadaan, kehadiran mereka hanya bersifat pembantu. Operasi penanggulangan keadaan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil,” kata Jimly dalam buku Hukum Tata Negara Darurat cetakan 2008.
Menurut Jimly, keadaan darurat sipil itui sendiri dapat terjadi karena berbagai sebab, baik yang bersifat alami, insani, dan/atau sebab-sebab yang bersifat hewani.
Yusfitriadi mengatakan sepakat bahwa saat ini, seluruh komponen bangsa dari seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah maupun rakyat sedang berusaha keras berperang melawan corona. Berbagai cara sudah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat secara mandiri.
Namun di tengah kondisi ketidakpastian ini selalu saja ada pihak yang membuat kegaduhan, baik itu informasi bohong, pernyataan yanag berimplikasi kehawatiran dan kepanikan yang berlebihan.
“Pernyataan yang mengejutkan datang dari presiden RI, dengan menyebut istilah darurat sipil,” kata Yusfitriadi.
“Saya memahami maksudnya, yakni bagaimana seluruh komponen masyarakat saat ini sedang yang di ambang bahaya karena penyebaran wabah covid-19 belum bisa diputus mata rantainya,” tambahnya.
Namun, imbuhnya, sama-sama kita ketahui istilah darurat sipil pernah berkembang ke publik pada masa rezim orde lama. Sehingga istilah tersebut akan sangat berpotensi membuat kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.
Seharusnya, kata Yusfritriasi, pemerintah tinggal membuat regulasi yang mengikat atas semua imbauan yang selama ini digembar gemborkan oleh pemerintah. Memang, yang namanya imbauan tentu saja tidak mengikat, namun lebih kepada kesadaran sosial dalam melaksanakan imbauan tersebut.
Sehingga sangat wajar ketika masyarakat banyak yang tidak melaksanakan imbauan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, karena tidak ada implikasi hukum apapun ketika masyarakat tidak melaksabakan imbauan tersebut. Implikasinya hanya dalam bentuk implikasi sosial.
“Oleh karena itu saya berharap saat ini pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang mengikat dalam karantina wilayah, masyarakat berkumpul, menutup pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan
lain-lain,” jelasnya.
“Dengan demikian secara substansi sebetulnya sudah dalam kondisi darurat sipil, namun istilah tersebut, bukan untuk dinyatakan secara terbuka, apalagi oleh pemerintah. Tinggal laksanakan saja konsekwensi-konsekwensi dari istilah darurat sipil tersebut,” tambahnya.(sur)