Kota Semarang, spiritnews.co.id – DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menemukan sedikitnya 1400 lebih nelayan di 5 kota kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi.
Demikian dikatakan, Dani Setiawan, Ketua DPP KNTI dalam diskusi online bertajuk Pemulihan Ekonomi Nasional Nelayan dalam menghadapi Covid-19 dan Akses Nelayan terhadap BBM Subsidi, Senin, (27/7/2020).
“Sekitar 69% responden atau 1400 lebih mengaku mengalami kesulitan dalam membeli BBM Bersubsidi di SPBU-SPBU yang ada di wilayah mereka sehingga pada akhirnya mereka harus membeli dari pengecer dengan harga yang jauh lebih mahal,” kata Dani.
Dikatakan, survey koalisi Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (Koalisi Kusuka Nelayan) di 5 kota (Gresik, Semarang, Medan, Aceh, dan Lombok timur, menemukan 67% responden mengaku membeli BBM dengan harga komersial dan tidak resmi (lebih mahal dari harga SPBU/SPBN). Salah satu penyebabnya adalah sulitnya mereka mengakses surat rekomendasi untuk mendapatkan BBM Bersubsidi.
“Ada sekitar 78% atau 1600 lebih nelayan yang disurvey menyatakan kesulitan mengakses surat rekomendasi yang menjadi prasyarat utama bagi nelayan kecil untuk bisa mengakses BBM Bersubsidi,” katanya.
Selain itu, tidak adanya identitas nelayan seperti kartu kusuka atau kartu nelayan yang memadai juga diduga menjadi salah satu penyebab sulitnya nelayan traditional kecil mengakses program-program perlindungan sosial yang disediakan oleh pemerintah, termasuk BBM bersubsidi dan bantuan sosial selama Covid-19.
Survey yang sama juga menemukan selain kesulitan dalam mengakses BBM Bersubsidi, mayoritas nelayan menyatakan tidak mendapatkan bantuan sosial seperti PKH, Bantuan Sosial Kabupaten, atau bantuan Sosial Desa. Dari 2,068 nelayan yang disurvey, hanya 12% nelayan yang mengaku mendapatkan bantuan sosial desa selama pandemi.
Sementara itu, hanya 30% nelayan yang mengaku menjadi penerima PKH, sisanya, atau sekitar 1400 lebih nelayan yang disurvey mengaku tidak menjadi penerima PKH. Jenis bantuan yang paling banyak didapatkan oleh nelayan tradisional kecil adalah subsidi listrik.
Menanggapi hasil survey koalisi ini, I Ketut Gede Aryawan, Kepala Sub Direktorat Pengaturan BBM- BPH Migas, menyampaikan bahwa di tahun 2020, BPH Migas telah menyalurkan kuota JBT (Minyak Solar) 15.310.000 Kl, dengan tugas penyaluran kepada 1) PT Pertamina (Persero) sebesar 15.076.000 KL; 2). PT AKR Corporindo, Tbk. sebesar 234.000 KL. Dari kuota tersebut, yang paling banyak peruntukannya adalah untuk transportasi (78,95%), dan 21,05% lainnya adalah untuk non transportasi di mana di dalamnya ada untuk usaha perikanan.
I ketut menambahkan, jika dilihat dari data konsumen pengguna usaha perikanan, 1,9 juta KL untuk nelayan (12.55%) dari kuota nasional sediakan untuk usaha perikanan. Angka ini dirasa sangat cukup untuk bisa diakses oleh nelayan tradisional. Namun demikian, jika dilihat dari realisasi penyaluran JBT (minyak Solar), dari kuota yang diberikan kepada nelayan, I ketut mengakui sejauh ini hanya ¼ nya yang berhasil diserap nelayan atau usaha perikanan.
“Di tahun 2020 ini, dalam realisasi per triwulan 1 Tahun 2020, baru 118.253 KL atau 6,15% dari kuota yang diserap untuk usaha perikanan,” ujarnya.
Menanggapi hal serupa, Komisi IV DPR RI, Luluk Nur Hamidah menyatakan bahwa sektor kelautan dan perikanan tidak lepas dari situasi terdampak pandemi covid-19 yang berpengaruh besar pada supply-chain, terutama nelayan kecil menengah terkait permasalahan pengiriman produk ikan dan UKM kecil dari keluarga nelayan juga terpukul karena praktis terhenti.
Akses pasar juga mengalami masalah, terutama buat para petambak tradisional karena pakan juga pernah dimainkan oleh pedagang besar dengan adanya kenaikan dollar yang terjadi di awal sehingga tidak sanggup diakses oleh pelaku usaha pembudidaya.
Pemerintah melalui KKP dan BPH Migas mencoba melakukan intervensi terkait dengan bantuan kepada nelayan atau sektor perikanan salah satunya adalah BBM. Meskipun intervensi bantuan bukan hanya BBM saja, karena masih ada bantuan lain. Hasil survey di jateng, misalnya mengatakan subsidi bbm menghilang.
Peristiwa ini bukan hanya peristiwa saat pandemi, maka kita bisa lihat pengulangan yang terus terjadi dari waktu ke waktu. Luluk Menyampaikan bahwa Mentri KKP beberapa waktu yang lalu mengatakan terkait dengan BBM bersubdisi ini ada penguasaan dari para preman, misalnya. Instumen Negara saja hanya menyatakan cukup tau dan tidak ada tindakan, lalu apa yang bisa dilakukan oleh nelayan.(sir)