Jakarta, spiritnews.co.id – Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menegaskan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan terus mengoptimalkan pengawas ketenagakerjaan untuk memastikan tidak adanya diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan terhadap pekerja perempuan.
“Kemnaker berkomitmen melindungi pekerja perempuan dari pelecehan dan kekerasan,” kata Menaker Ida saat menjadi Keynote Speaker pada Kelas Advokasi Kamisan yang diselenggarakan Oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UGM Yogyakarta, Kamis (13/8/2020). Diskusi tersebut bertajuk RUU PKS: Jalan Keluar Masalah Kekerasan Seksual di Indonesia.
Menaker Ida juga menyatakan, Kemnaker aktif mengadakan sosialisasi dengan melibatkan stakeholders ketenagakerjaan seperti asosiasi pengusaha, asosiasi profesi, serikat pekerja/serikat buruh, serta potensi yang ada pada masyarakat lainnya.
“Ini dilakukan karena kita semua sepakat untuk menghilangkan praktik-praktik diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan terhadap perempuan,” kata Menaker Ida.
“Praktik-praktik atau kebiasaan pada masyarakat yang ‘permisif’ terhadap pelecehan perempuan harus dikikis dan dihilangkan,” tambahnya.
Ia juga mengemukakan keharusan adanya produk hukum yang melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan. Menurutnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus menjadi agenda prioritas DPR pada tahun depan.
“Pemerintah berharap, DPR yang pada masa sidang tahun ini belum selesai membahas dan mengesahkan RUU PKS sebagai UU, diharapkan pada masa sidang tahun depan, menjadikannya sebagai salah satu agenda prioritas. Juga termasuk RUU KUHP. Karena kedua RUU tersebut dalam hal ini saling beririsan, dan tidak boleh saling bertentangan,” terangnya.
Hal itu berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 2019, menunjukkan bahwa jumlah pekerja perempuan mencapai 46.578.850 pekerja (37,1%). Dari jumlah tersebut, tercatat 46.376 pekerja perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan di tempat kerja, serta 19.201 pekerja perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan di tempat kerja.
“Meski secara persentasi data kekerasan dan pelecehan yang dialami pekerja perempuan kecil, yakni hanya sekitar satu persen, namun angka tersebut tetaplah besar karena kekerasan dan pelecehan adalah pelanggaran yang tidak bisa ditoleransi,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menyatakan, selain harus adanya penguatan pada UU, perlu mengajak potensi masyarakat yang ada, seperti lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga profesi, dan potensi lain untuk ikut melakukan edukasi kepada masyarakat, untuk bersama-sama menghilangkan bentuk-bentuk kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
“Karena sebagaimana yang kita ketahui bersama, pemahaman agama, pendidikan, dan budaya memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Tentu pemahaman yang mempunyai spirit kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,” jelasnya.(rls/red)