Jawa Tengah, spiritnews.co.id – Perayaan hari kemerdekaan ke-75 di tengah pandemi memang dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan kegiatan diskusi online.
Koalisi Maritim Jawa Tengah (KOMJEN) yang mana merupakan koalisi dari oraganisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang kemaritiman Jawa Tengah, yakni Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Asosiasi Pemuda Maritim Jawa Tengah (APMI), PERHIMATEKMI, BEM FPIK UNDIP, BEM FPIK UPS Tegal, HIMAPIKANI, HIMASPAL, PALAPAOCEAN dan Indofishery.
Diperayaan HUT RI ke-75 ini menggelar diskusi online bertajuk ‘Mengisi Kemerdekaan dari Pesisir Jawa Tengah’.
Koordinator KOMJEN, Hendra Wiguna, mengungkapkan bahwa koalisi ini dibentuk sebagai upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya pembangunan Jawa Tengah dengan menitikberatkan kepada maritim dalam pola pembangunannya.
“Jawa Tengah memimiliki potensi yang sangat besar dalam sektor kemaritiman, baik itu potensi sumberdaya alamnya, sumber daya manusianya ataupun letak startegis gografisnya. Meski demikian tak luput dengan permasalahan terutama terkait dengan kesejahteraan nelayan dan petambak garam,” terang Hendra.
Lanjut Hendra, nelayan dibeberapa daerah masih minim dalam mendapatkan haknya, mulai dari dukungan sarana hingga perhatian khusus akan keselamatan nelayan ketika di laut.
“Nelayan masih minim dalam mendapatkan haknya, terutama dukungannya dalam segi sarana maupun keselamatannya,” tambahnya.
Pada diskusi online yang dilaksanakan pada Senin 17 Agustus 2020, turut hadir Wakil Bupati Pati, Saiful Arifin.
Saiful Arifin menyampaikan bahwa pesisir Kabupaten Pati memiliki garis pantai sepanjang 60 kilometer dan sebagian besar digunakan sebagai lahan tambak.
“Namun, tambak yang ada tidak hanya berpotensi untuk budidaya bandeng, udang maupun ikan nila saja yang saat ini tengah kita kembangkan. Melainkan, memiliki potensi untuk produksi garam. Meskipun Kabupaten Pati bukan kota garam, namun potensi garamnya dapat melebihi daerah-daerah lain,” terang Saiful Arifin.
Lanjut Saiful, jumlah produksi garam Kabupaten Pati mencapai 360.000 ton per tahun. Hal ini menjadikan Kabupaten Pati sebagai daerah produsen garam yang besar.
“Dengan ini pula, kita mendapat apresiasi lantaran kita menduduki peringkat kedua se-Indonesia,” sambungnya.
Ia menjelaskan, apabila membahas tentang garam, dapat menjadi produk yang utama. Bahkan, lanjutnya, ada pepatah yang mengatakan makan tanpa garam tidak ada rasanya sama sekali. Oleh karena itu, secara langsung garam menjadi produk yang begitu dibutuhkan di masyarakat.
“Apabila berbicara tentang produktivitas, kita percaya bahwa Kabupaten Pati mampu memproduksi garam dengan cukup besar dan kualitasnya yang baik. Namun, timbul kesedihan bahwa dengan potensi produktivitas yang begitu baik, kita selalu dihantam dengan adanya garam impor,” terangnya.
Berpedoman pada kondisi garam di dalam industri yang NaCl-nya mencapai 98, batasan NaCl tersebut apabila di industri bisa diturunkan menjadi 96 atau 97.
Menurut Saiful, hal ini dilakukan agar petani garam di Kabupaten Pati dapat memproduksi garam yang kadarnya mencapai 97. Ia menilai apabila kadarnya 98 terlalu berat.
“Kita produktivitas sudah tinggi apabila selalu dihantam dengan garam impor, ya kasihan juga para petani di Pati. Padahal untuk memproduksi garam saja, mesti dengan cucuran keringat dan panas yang begitu terik. Nah, kalau harganya tidak masuk, maka petani-petani baru atau kalangan muda, ingin mengerjakannya pun susah,” ungkapnya.
Untuk itu, ia mengajak kepada semua pihak agar dapat saling memikirkan dan mencari solusi terkait hal tersebut.
Sebab, apabila harga garam di pasar terus-terusan tidak menarik, lama-kelamaan petani garam enggan untuk masuk di industri garam.
“Dimana letak kemerdekaan kita apabila produk garam saja masih impor?. Ini yang perlu kita camkan dan kita gaungkan di Pemerintah Pusat, masa kebutuhan garam saja harus import?,” ujar Wabup.
Dengan produktivitas yang baik, menurutnya hal ini terlalu memberatkan. Baginya, bagaimana para petani-petani garam baru dapat berkontribusi apabila harganya saja tidak menarik.
“Mewakili teman-teman petani garam, kita berharap agar garam lokal ini dapat masuk di industri-industri makanan. Kita harus mencari titik tengah yang juga menguntungkan bagi para petani garam,” paparnya.
Untuk itu, dirinya berencana menyampaikan hal tersebut kepada Mendagri bahwa garam sebagai kebutuhan yang begitu penting agar dapat muncul Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Sebab dengan HET ini, dapat menyelamatkan petani. Yaitu, dari sisi produktivitas maupun harganya yang memang patut untuk didapatkan,” jelasnya.
Senada dengan Saiful Arifin, Hendra Wiguna (Koordinator KOMJEN) berharap pemerintah mulai mempercayakan pemenuhan kebutuhan dalam negri baik itu garam ataupun ikan kepada pelaku usaha dalam negri yakni petambak garam dan nelayan.
“Terkait dengan impor garam dengan dalih kualitas garam, seyogyanya pemerintah memberikan sentuhan peningkatan kualitas dengan memberikan pedampingan kepada para petambak garam. Jangan sampai dengan tujuan instan guna memenuhi kebutuhan kran impor terus-terusan dibuka, tentu korbannya adalah petambak garam dalam negri,” paparnya.
Sambung Hendra, sarana dan prasarana nelayan kecil tradisional di Jawa Tengah harus segera dipenuhi agar hadir kenyamanan dan kesejahteraan bagi keluarga nelayan, sehingga tidak ada lagi cerita menurunnya angka jumlah nelayan di Jawa Tengah.
“Peran penting nelayan dan petambak garam jelas dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan ekonomi Jawa Tengah, jumlah nelayan dan petambak garam di Jawa Tengah pun jumlahnya tidak sedikit sehingga harapan kedepannya keberpihakan kepada mereka lebih diperhatikan,” tutup Hendra. (rls/red)