Menelisik Lebih Jauh Aceh Terkorup Nomor Dua di Indonesia dan Prilaku Korupsi di Aceh

  • Whatsapp

ACEH yang memiliki latar belakang sebagai bangsa yang hebat dan dikagumi hingga menyandang berbagai gelar seperti Serambi Mekah, Daerah Modal dan Daerah Istimewa. Namun belakangan gelar-gelar yang disandang Aceh itu menjadi sirna ketika Aceh pernah menyandang sebagai daerah terkorup nomor dua di Indonesia.

 

Bacaan Lainnya

Penulis : Fatahillah SH M.Hum

Praktisi Hukum

 

Mungkin semua orang terkesima, miris dan malu saat mendengar sebutan Aceh terkorup.  Sudah separah itukah Aceh sekarang ini hingga tidak ada rasa malu lagi untuk menjarah, mencuri dan merampok uang negara. Bagi endatu orang Aceh zaman dulu semua perbuatan haram itu selalu dijauhi.

Menurut Praktisi Hukum di Aceh, Fatahillah, SH M.Hum, orang Aceh zaman dulu bila ada anggota keluarganya ketahuan terlibat dalam perbuatan mencuri misalnya bisa meninggalkan kampungnya karena malu. Namun sekarang berbalik orang pada bangga melakukan korupsi.

Mungkin pula karena malu mendapat predikat Aceh sebagai daerah nomor dua terkorup di Indonesia, ketika itu Gubernur Aceh, dr Zaini Abdulah pernah berjanji akan menelusuri dan mencari dalang yang membuat daerah Aceh sebagai daerah ring kedua terkorup di Indonesia.

“Namun sayang dan sangat disayangkan hingga Zaini Abdullah habis masa jabatan Gubernur predikat Aceh terkorup nomor dua belum terhapus bahkan sekarang korupsi bagai sudah membudaya. Dalam hal ini pula kunjungan Ketua KPK ke Aceh baru baru ini hingga banyak yang bertanya, ada apa,” kata Fatahillah.

Fatahillah, mengatakan, korupsi di Aceh tidak saja terjadi dalam tubuh birokrasi pemerintahan dan birokrasi bisnis juga telah merasuk ke hampir sisi kehidupan.

Diantara contoh-contoh dan termasuk dalam praktek korupsi yang banyak terjadi di Aceh sekarang ini misalnya, istilah kroni atau konco merupakan sebuah kejahatan yang terorganisir (organized crime) dan bukanlah dua bagian yang terpisah. Ia merupakan kegiatan dari suatu jejaring yang melibatkan banyak unsur.

Bisa jadi dari unsur birokrat yang mengeluarkan izin, pengusaha, politisi yang memperjuangkan kepentingan pengusaha di dalam dan di luar parlemen bahkan kalangan oknum penegak hukum yang menentukan perbuatan seseorang merupakan tindakan kejahatan atau tidak disinyalir juga ikut bermain.

Begitu juga dalam hal kepentingan ekonomi atau jabatan yang diproteksi lewat sogok untuk meloloskan maksudnya. Rasanya, tidak cukup buat kita untuk mempelajari tindakan-tindakan korupsi seperti sogokan dan pengangkatan kerabat seorang pejabat di lingkungan pemerintahan dan perusahaan, atau pemberian fasilitas bisnis kepada perusahaan milik orang orang yang memberi untung.

Mencermati dari keseluruhan jejaring korupsi di Aceh belakangan ini tambah Fatahillah banyak disebut sebut misalnya ketika terjadi interaksi saling main mata antara pejabat, pengusaha serta oknum penegak hukum itu sendiri. Hubungan-hubungan di antara anggota-anggota jejaring korupsi itulah yang populer disebut KKN yang dari sudut sosiologi semuanya merupakan korupsi.

Banyak kasus korupsi di Aceh saat ini menjadi sorotan publik, antara lain betapa banyaknya pembangunan yang macet karena persoalan tender yang bermasalah.

“Dalam konteks ini pula semua kita di Aceh tentunya tidak dapat menutup mata apabila di jalan-jalan raya berseliweran mobil-mobil mewah. Sementara itu, di jalan-jalan yang sama kita menemukan pengemis yang menghiba meminta uang sedekah. Dari semua itu akan semakin menjauhkan masyarakat miskin dari akses memperoleh kehidupan yang layak. Karena begitu kuat dan menggebu hasrat dari sebagian orang untuk menumpuk kekayaan dengan melakukan korupsi ditengah banyak orang lain hidup melarat,” jelasnya.

Dikatakan,  kondisi ini mencerminkan pemerintahan di Aceh selama ini masih belum peka untuk memahami itu semua. Dapat terlihat, bagaimana persoalan semakin menumpuk  sementara rakyat hanya bisa melongok saja saat jalan jalan, irigasi dan infrastruktur lainnya yang rusak akibat pembangunannya tidak sesuai standar.

Cukup menyedihkan memang, namun inilah yang sedang terjadi di Aceh hari ini. Harapan menuju Aceh makmur, sejahtera mungkin tinggal dalam mimpi. Cuma yang perlu dipahami, lanjut Fatahillah tindak korupsi bukanlah sesuatu yang sangat mulia di mata Tuhan, Allah SWT. Bahkan pada saatnya setiap perbuatan dzalim hukuman Allah menunggu waktu.

Karenanya kesadaran kita semua terutama para pemimpin baik dipemerintahan, legislatif, kalangan kampus, ulama, LSM anti korupsi, mahasiswa atau siapapun mau duduk bersama membantu Gubernur Aceh sekarang Nova Iriansyah untuk mencari alternatif apa agar orang pada takut melakukan korupsi.

Semua orang tahu, korupsi dapat memacetkan roda pembangunan. Betapa banyak infrastruktur di Aceh yang rusak atau terbengkalai karena dananya sudah habis. Jadi, sekali lagi jangan korbankan pembangunan hanya karena kepentingan sesaat. Kenang dan ingat Aceh pernah mengalami musibah maha dahsyat yaitu gempa bumi dan tsunami, jangan sampai bumi Aceh nantinya  tenggelam semua gara gara perbuatan zhalim sebahagian orang.

Memang untuk menghapus korupsi sangat tidak mudah apalagi untuk mengambil suatu keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya apa sebagai penyakit sistem, sebagai penyakit manusia, atau penyakit budaya.

Bila korupsi dianomoli sebagai penyalit khusus yang telah berdarah daging bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan peradaban. Apabila disimpulkan bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output kecil dari dasar-dasar jiwa korupsi hingga bisa menemukan manifestasinya pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami dan cara merasakan.

Mungkin tidak pernah berhenti kita bertanya, di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak atau peristiwa iman yang mungkin sudah hilang. Nah kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang diluar cuma mampu berteriak “Wahai Kaum Koruptor di Aceh, ”bertobatlah kamu, ingat azab dari Allah.

Fatahillah coba menelisik lebih jauh lagi terhadap prilaku korupsi adalah timbulnya istilah-istilah. Bisa disaksikan dalam pergaulan sehari hari ditengah masyarakat kita sekarang ini. sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya.

Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, ada maksud tersembunyi. Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai “tabungan akhirat”, pada “kegagalan” disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut “kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan sebagai “suratan takdir”.

Hal hal inilah yang kerap terdengar sebagai menghilangkan arti sebenarnya. Namun kalau yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”, karena korupsi menjadi kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi merampok itu boleh asalkan konotasinya untuk berjihad.

Tapi ketahuilah, kebenaran dan denotasi apapun tak akan mengalami kehancuran yang hancur hanya kehidupan manusia. Maka dalam hubungan ini agar supaya kita tidak terlalu bersedih atas kepastian untuk semakin hancur, coba kita menyimak kebelakang sejenak untuk mengetahui isi kandungan ajaran Islam yang kita anut dan petuah orang Aceh terdahulu. Antaranya coba menanyakan kepada diri sendiri.

Iseng-iseng, kita coba mempertanyakan siapa diri kita sebenarnya dan kemana tujuan yang hendak kita tuju. Dengan asumsi sederhana bahwa kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkah. Kita coba berendah hati saja untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan yang kita alami selama 10-15 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar kasus orang yang memang tak kenal siapa dirinya.

Norma, Hukum, dan Moral Zaman telah berobah total, kini dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan. Bisa beli apa saja melebihi orang lain, keluarga menganggap kita sukses, pesantren dan mesjid yang di bantu menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah orang yang baik hati, buktinya kaya, dan mau bersedekah kepada mereka.

Namun dibalik semua itu, ada sedikit pengetahuan yang terlanjur singgah di saraf dan otak yang membuat ingatan kita bahwa yang korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan dibenci oleh Allah. Bila tak cukup dengan membantu pesantren atau mesjid, perlu berumroh sesering mungkin, langsung melakukan pendekatan kepada Allah.

Dalam apa yang kita lakukan ini sebenarnya sedikit sedikit kita merasa juga bahwa Allah murka dengan umroh atas dosa korupsi tetapi karena demikianlah juga yang dilakukan oleh banyak teman-teman lainnya, maka kita menjadi sedikit tenang.

Faktornya di sini, budaya kita lebih mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum dan moral itu bernilai otonom dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau kebiasaan banyak orang. Namun itulah norma sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan arus norma atau kecenderungan orang lain.

Kembali kepada korupsi, seperti halnya pelacuran atau tindak kejahatan lain, mustahil bisa dihapuskan dari muka bumi. Tapi bukan berarti lalu kita harus membiarkan kebusukan ini merajalela tanpa adanya upaya untuk mencegahnya. Yang perlu diingat adalah, bagaimana upaya pencegahan dan pemberantasan yang akan kita lakukan.

Mungkin yang bisa kita capai hanyalah menekan peningkatan jumlah serta kualitas kejahatan termasuk tindak kejahatan korupsi tadi. Yang bisa kita lakukan memang hanya sampai disitu.

Membasmi korupsi sampai tuntas sebenarnya hanyalah slogan kosong yang tidak mungkin bisa terlaksana. Hal ini perlu untuk diingat agar kita tak lantas telanjur menggebu-gebu hingga akhirnya malah kecewa atau frustasi. Korupsi sebagai kejahatan yang kompleks, bahkan telah menyadarkan banyak negara untuk membentuk lembaga independen yang mempunyai wewenang khusus memberantas korupsi.

Di Indonesia dinamakan KPK, di Singapura CPIB. Malaysia RPR. Dua Negara di Asia Tenggara, Singapura dan Malaysia dinilai berhasil menekan angka korupsi. Sementara di Indonesia melalui KPK masih mendapat tantangan berat.

Kesuksesan lembaga pemberantas korupsi di beberapa negara lebih disebabkan oleh dukungan politik yang baik dan kepemimpinan yang kuat. Strategi anti korupsi yang umumnya diterapkan di banyak negara adalah strategi yang melibatkan kebijakan berbagai stakeholder penegakan hukum. Kita dapat saksikan, merajalelanya para koruptor di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia khususnya Aceh telah mengakibatkan kehancuran ekonomi masyarakat. Kemiskinan, penderitaan dan kesengsaraan dalam masyarakat.

Karenanya kalau bisa Pemerintah Aceh mulai dari sekarang harus focus kepada bagaimana pola pemberantaran korupsi di Aceh yang hendak diterapkan. Bisa Belajar Dengan Malaysia. Kita orang Aceh jangan merasa malu, biarpun orang Malaysia pernah belajar ke Aceh zaman dulu.

Banyak hal dalam upaya memberantas korupsi di Malaysia patut kita contoh. Upaya upaya yang dilakukan Kerajaan Malaysia patut dicontoh dalam memerangi korupsi.

Di antara hal yang spektakuler dilakukan di negara jiran ini adalah diberlakukannya ‘sistem pembuktian terbalik’. Artinya, seorang pejabat negara yang terindikasi melakukan korupsi dengan harta kekayaan yang tidak sebanding dengan kemungkinan penghasilan dari jabatannya, dapat diminta untuk membuktikan dari mana kekayaan itu didapatkan. Diminta untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan koropsi.

Jika seorang pegawai rendah atau seorang prajurit terlihat memiliki rumah mewah atau kendaraan mewah, maka Badan Pencegah Rasywah (BPR) dapat meminta yang bersangkutan untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan korupsi. Langkah ini cukup efektif. Para pejabat di negara jiran ini, sangat berhati-hati, meskipun pasti tidak semua bersih dari perilaku korupsi.

Dengan langkah itu pula, tidak heran jika peringkat Corruption Perception Index Malaysia saat ini sangat jauh meninggalkan Indonesia. Tidak heran juga, jika Malaysia dapat cepat keluar dari krisis ekonomi yang melanda Asia beberapa tahun yang lalu.

Negara ini telahvberhasil membangun ekonomi mereka dengan sangat mengagumkan. Kenapa kita di Indonesia dan Aceh khususnya tidak mencoba seperti yang dilakukan Malaysia. Mengapa, mengapa. Ya, kalau pola tersebut dilakukan di Aceh, mungkin akan banyak para pejabat kita yang akan masuk penjara. Entahlah.(*)

Editor: Lassarus Samosir, SE

Pos terkait