PANDEMI Covid-19 telah memperlihatkan kelemahan dalam sistem pangan dan HAM yang berdampak besar pada perempuan terutama di Negara berkembang. Perempuan memainkan peran penting dalam menumbuhkan, memproses dan memasarkan makanan bahkan penyediaan pangan terbesar di seluruh dunia didominasi oleh perempuan.
Dalam hal ini, Dr. David Boyd, Pelapor Khusus tentang Hak Asasi Manusia dan Lingkungan PBB dan diselenggarakan bersama oleh Komite Perencanaan Internasional untuk Kedaulatan Pangan, FIAN Internasional.
Penulis : Siti Aisyah Amini
Koordinator Pemuda Asia World Forum of Fisher Peoples (WFFP)
Mahasiswi Fakultas Hukum Unissula Semarang
Dalam rangka konsultasi PBB, Siti Aisyah Amini, Koordinator Pemuda Asia World Forum of Fisher Peoples (WFFP) Mahasiswi Fakultas Hukum Unissula Semarang yang juga aktif di DPD KNTI Semarang, perempuan kelahiran Sampang ini diundang wawancara secara khusus untuk mewakili 19 lebih Aliansi Organisasi Pemuda Internasional dari berbagai Negara yang tergabung dalam International Planning Committee Youth (IPC Youth) pada Jum’at, (30/4/2021) sekitar 20.00 – 22.00 WIB.
Ironisnya hak perempuan mendapatkan akses yang lebih sedikit baik dalam pelatihan, jaminan perlindungan hukum maupun ketersediaan peluang yang lebih rendah dibandingkan pria dan karenanya juga akan berdampak pada penghasilan.
Koordinator Pemuda Asia World Forum of Fisher Peoples (WFFP, Siti Aisyah Amini, mengatakan, meskipun tidak adil bagi hak asasi perempuan ini juga merupakan tragedi bagi komunitas dan Negara mereka, karena memungkinkan anak perempuan sebagai generasi akan mengalami hal yang sama.
“Untuk mencapai potensi penuh ada beberapa kebijakan seperti UNDROP dan VGSSF yang perlu di ditindak lanjuti oleh PBB dengan pemerintah untuk membangun sistem pangan yang produktif, responsif dan berkelanjutan oleh itu dibutuhkan keterlibatan pemuda dan peranan perempuan dalam merumuskan kebijakan untuk mempertimbangkan dalam mengatasi dampak Covid-19,” kata Siti.
“Inilah saatnya bagi kita, kaum muda harus ikut andil membangun pergerakan kolektif untuk mendukung pertumbuhan perempuan diseluruh dunia,” jelasnya.
“Saya setuju dengan pendapat anda, apa yang anda sampaikan adalah realita yang terjadi saat ini, dan itu memang akan berdampak besar pada hak perempuan dan anak perempuan karena lebih dari 70% makanan di seluruh dunia sebagian besar diproduksi oleh perempuan,” tambahnya.
Hubungan gender dengan generasi dan keterlibatan peran pemuda akan terus berkaitan secara kompleks bagi sistem pangan dengan sektor lainnya terutama di negara berkembang. Ini merupakan isu penting yang masih menjadi PR kita. Saya tertarik kebetulan anda merupakan pemuda dari Indonesia, coba anda menjelaskan kepada kami bagaimana kondisi dampak spesifik sistem pangan terhadap hak perempuan di Indonesia selama pandemi ini ?.
Kondisi di Indonesia sendiri dampak spesifik sistem pangan terhadap hak jaminan hidup bagi pemuda dan perempuan selama pandemi terlihat jelas bahwa produktifitas pemuda dan perempuan sangat terpengaruh, banyaknya pengangguran faktor pemutusan hubungan kerja (PHK) dimana mayoritas buruh adalah perempuan dan kurangnya lapangan pekerjaan.
Meningkatnya produktifitas perempuan di dalam rumah tangga yang menyoroti ketidak setaraan gender dalam hak bekerja yang menimbulkan konflik kekerasan pada perempuan hal ini masih ada pasal-pasal yang tidak aspiratif, kami perempuan Indonesia membutuhkan regulasi (ruu pks) atas jamin hukum untuk menciptakan sitem pangan yang lebih reponsif. Kita berharap ada sinergitas yang dibangun dari PBB dan Pemerintah di setiap Negara dalam menangani dengan serius isu gender dan aktif melibatkan peran muda dalam merumuskan kebijakan.
Sudah lama keberadaan para petani juga terpinggirkan, meski menghasilkan persentase makanan tertinggi kita butuh sistem pangan yang partisipatif. Adanya mekanisme multipihak dalam tata kelola pangan sangat perlu bagi setiap pemangku kepentingan untuk melibatkan semua pelaku utama dalam pangan; produsen, pemuda dan distributor disetiap pengambilan keputusan sistem pangan.
Jika hanya menyerahkan kewenangan pada pemerintah saja maka keberadaan pemuda akan terancam terdiskriminasi dan tidak memiliki peranan aktif yang itu haya akan merugikan keberlanjutan sistem pangan berikutnya. Oleh itu harus ada sinergitas yang masif antara PBB, pemerintah dan pemuda dalam menginisiasi atau menggagas untuk meningkatkan sistem kedaulatan agroekologi kedepannya.
“Saran yang baik untuk kami dalam memastikan sistem pangan semaksimal mungkin melibatkan peranan pemuda, lalu anda dalam mewakili aliansi organisasi pemuda internasional adakah ide atau solusi bagi kami untuk membuat sistem pangan yang lebih partisipatif dan berkelanjutan dalam rangka pemulihan ekonomi?,” ujarnya.
“Kami seluruh pemuda berharap PBB adalah organisasi internasional yang hadir untuk menjembatani dan dapat membangun komunikasi sebagai kunci penerapan kerangka transformasional holistik yang dalam hal ini menjadikan pemuda sebagai aktor politik untuk ikut serta dalam setiap gerakan sosial bahkan dalam pengambilan keputusan lokal, nasional dan global,” tegasnya.
Adapun solusi kongkrit dari kami untuk membuat sistem pangan lebih partisipatif dan berkelanjutan adalah :
- Fokus pada pemrosesan untuk memperpendek sirkuit distribusi, misalnya dengan toko-toko pertanian yang mendekatkan konsumen dengan produsen di mana harga dapat lebih terjangkau dan memberikan pendapatan yang menguntungkan.
- Menciptakan efek penggerak dalam program-program inovatif dan membuat sasaran strategis untuk meningkatkan kreativitas wirausaha.
- Membangun ekonomi digital pertanian dalam menjamin ekosistem yang holistik.
“Kami rasa akses teknologi belum digunakan secara emansipatoris sehingga memicu pemanasan global yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati secara drastis dengan implikasi lemahnya bagi kedaulatan pangan, pendapatan dan kesuburan tanah,” kata Siti.(*)