KORUPSI atau rasuah berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Penulis : Arsya Cahaya Salsabyla
Mahasiswa Sosiologi – Universitas Muhammadiyah Malang
Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi penyebab terjadinya korupsi di Indonesia adalah pertama yaitu lemahnya moral, tekanan ekonomi, Lemahnya hukum yang berlaku, kurangnya tindakan dari aparat penegak hukum, administrasi yang lamban serta tidak luwes, dan lain-lain. Hal itulah yang menyebabkan maraknya kasus korupsi di Indonesia.
Dampak tindakan korupsi dapat merusak perekonomian suatu Negara, dan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah telah berupaya untuk menuntaskan kasus korupsi melalui berbagai kebijakan-kebijakan untuk memberantas korupsi. Walaupun demikian, masih terdapat banyak kasus korupsi yang tidak ditangani secara serius. Oleh sebab itu korupsi merupakan permasalahan besar yang harus segera diatasi.
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tren penindakan kasus korupsi mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2018 sebanyak 454 kasus, dan pada tahun 2019 hanya 271 kasus. Dikutip dari Kompas.com, dari paparan ICW, terdapat 271 kasus korupsi yang ditangani pada 2019 dengan total 580 tersangka.
Sebenarnya seseorang melakukan tindakan korupsi itu dilatarbelakangi oleh banyak faktor, salah satunya adalah Habitus. Dalam sosiologi, habitus adalah pembatinan nilai-nilai sosial-budaya yang beragam dan rasa permainan yang melahirkan berbagai macam bentuk gerakan yang disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan.
Bila dikaji dengan teorinya Pierre Bourdieu. Adanya perilaku yang sudah menjadi kebiasaan para penjabat untuk melakukan perilaku menyimpang, perilaku melawan nilai dan norma dalam masyarakat, yaitu perilaku yang disebut korupsi. Perilaku korupsi inilah yang sudah menjadi kebiasaan atau Habitus yang mendarah daging, sehingga tidak bisa dihilangkan, karena sistem jaringan yang sudah terbentuk dan saling melindungi antar jaringan tersebut.
Dengan adanya perilaku “habitus/kebiasaan” yang sudah mendarah daging sehingga tindakan korupsi menjadi perilaku yang lumrah. Didukung dengan adanya sumber-sumber modal bagi para pelaku korupsi, serta pahamnya pelaku korupsi mengenai ranah/arena mereka secara maksimal.
Disinilah keberhasilan para pelaku atas dasar adanya jaringan/hubungan antar posisi jabatan, sehingga memuluskan langkah pelaku korupsi dalam melangsungkan tindakan kotornya, yang mana merugikan negara dan masyarakat.
Disinilah efek jera itu tidak ada, sehingga penjabat yang korupsi tidak akan takut dengan hukuman yang tidak memberikan efek jera bagi mereka. Karena memang hukuman untuk para pelaku koruptor di Indonesia memang masih tergolong sangat lemah.
Hal itu menimbulkan para koruptor semakin berkuasa dan bertindak semaunya. Oleh karena itu, perlu dan pentingnya tindakan hukuman yang tegas bagi para pelaku korupsi. Agar kasus korupsi tidak semakin merajalela dan membuat perekonomian suatu negara menjadi terpuruk.(*)