FINANCIAL INCLUSION akhir-akhir ini menjadi topik yang hangat diperbincangkan, tak hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia. Pentingnya penerapan Financial Inclusion pada dunia perbankan telah diakui oleh dunia.
Penulis : Ratna Dwi Feby Ana dan Fika Fitriasari
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadyah Malang
Menurut Sanjaya (2014), Financial Inclusion merupakan penyediaan akses bagi masyarakat termarginalkan (lebih kepada masyarakat miskin) dengan tujuan agar dapat memiliki dan menggunakan layanan sistem keuangan.
Tujuan utama dari penerapan Financial Inclusion pada dunia perbankan adalah untuk mendorong masyarakat yang tidak memenuhi syarat pengajuan kredit usaha kepada perbankan dapat masuk ke akses perbankan dan mendapatkan layanan selayaknya masyarakat yang memenuhi syarat pengajuan kredit usaha.
Dengan diberlakukannya Financial Inclusion ini, masyarakat yang tergolong dalam kelompok unbankable people mendapatkan kesempatan untuk mengakses jasa keuangan perbankan, seperti tabungan, pembayaran, pembiayaan, asuransi, dan berbagai jasa keuangan lainnya.
The World Bank Global Financial Development Report pada tahun 2014 telah mengumumkan bahwa lebih dari lima puluh negara di dunia ini telah memasang target tertentu dalam hal inklusi keuangan (Naceur et al., 2015). Financial Inclusion diklaim dapat memudahkan alokasi sumber daya produktif secara lebih efisien dan efektif.
Financial Inclusion juga diklaim dapat mengurangi pembengkakan biaya dari sumber kredit informal, seperti para rentenir, dimana rentenir biasanya menyalurkan pinjaman secara eksploitatif kepada masyarakat.
Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh The World Bank membuktikan bahwa Financial Inclusion memegang kendali yang besar dalam upaya pemberantasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan pendapatan yang dihasilkan masyarakat Indonesia serta berdampak pada proses meningkatkan dan mengembangkan ekonomi suatu negara.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura, Suryo Pratamo dalam sambutannya pada Webinar Digital and Fintech Opportunities for Indonesia and Singapore yang diselenggarakan oleh Singapore Business Federation (SBF) pada 30 Juni 2021, menyampaikan bahwa Indeks Financial Inclusion Indonesia tercatat sebesar 76%. Sementara, negara lain ASEAN seperti Singapura telah mencapai 98%, Malaysia 85%, dan Thailand 82%. Indonesia harus mengejar ketertinggalan ini.
Semakin maju suatu negara, maka Index Financial Inclusion juga akan semakin tinggi. Namun Indonesia memiliki Index Financial Inclusion yang masih terbilang rendah, hal ini dapat menyebabkan masyarakat Indonesia terjebak pada peran rentenir dalam proses peminjaman uang. Dimana rentenir nantinya akan memberikan pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi dan melampaui batas wajar bagi kelompok masyarakat unbankable.
Rendahnya persentase Financial Inclusion ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti masyarakat suatu negara memiliki hambatan untuk mengakses dan mendapatkan layanan dari lembaga keuangan khususnya perbankan, tingginya persentase unbankable masyarakat yang disebabkan adanya gap kemiskinan antar provinsi, suku bunga kredit mikro yang terlalu tinggi, asymmetric information, monopoli yang dilakukan perbankan pada industri kecil, serta terbatasnya sistem untuk mendistribusikan akses masuk ke perbankan atau lembaga keungan.
Dari beberapa pemaparan di atas, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan persentase Financial Inclusion Index di Indonesia adalah dengan mendorong peningkatan penerapan Financial Inclusion pada bank di Indonesia, khususnya Bank Syariah.
Mengapa harus Bank Syariah? Berikut akan dipaparkan secara lebih rinci dan mendalam mengapa peningkatan penerapan Financial Inclusion difokuskan pada Bank Syariah. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, perbankan syariah merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), mencakup lembaga, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Perkembangan Bank Syariah saat ini dapat dikatakan cukup pesat. Bahkan, tak hanya di Indonesia, beberapa negara di dunia juga mulai melirik dan mengembangkan sistem keuangan Islam.
Global Islamic Economy Report 2018/2019 menyatakan bahwa pada tahun 2023 diperkirakan keuangan Islam akan tumbuh hingga mencapai 3.809 Miliar USD (Reuters, 2018). Hal ini merupakan sebuah peluang besar yang harus ditangkap oleh Indonesia. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk muslim terbanyak di dunia. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan Bank Syariah, terutama dalam Financial Inclusion. Bahkan, Indonesia juga berpotensi untuk bisa mendapatkan dan memelihara pangsa pasar yang besar dan sangat menguntungkan.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dalam beberapa dekade merupakan sebuah bentuk komitmen masyarakat dalam penerapan prinsip syariah perbankan melalui sistem bagi hasil. Hal ini yang membedakan Bank Syariah dengan Bank Konvensional. Hal ini juga merupakan salah satu keunggulan Bank Syariah dengan Konvensional. Sistem bagi hasil tidak akan ditemui pada Bank Konvensional manapun.
Berkembangnya bank syariah juga dapat diartikan sebagai peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam untuk mulai beralih dan menggunakan perbankan dengan sistem keuangan Islam. Pada tahun 2008, kuantitas perbankan syariah kurang lebih berjumlah 155, dengan rincian sebagai berikut, 3 Bank Umum Syariah (BUS), 28 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 124 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Jumlah tersebut dalam jangka waktu beberapa tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan tersebut menandakan bahwa kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk keuangan non-bunga semakin bertambah.
Terjadinya perkembangan pesat dalam Bank Syariah di Indonesia dapat dilihat dari bertambahnya jumlah Bank Syariah di Indonesia. Observasi yang diadakan pada tahun 2017, menghasilkan data bahwa Indonesia telah memiliki 13 Bank Umum Syariah (BUS), 21 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 165 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Bank Syariah ini telah berkembang ke seluruh daerah di Indonesia sehingga dapat diakses dan digunakan oleh seluruh kelompok masyarakat. Semakin luasnya jangkauan untuk mengakses perbankan syariah menandakan bahwa perbankan syariah semakin berperan dalam rangka pembangunan finansial di Indonesia.
Perbankan syariah akan menjadi perantara utama dalam pengembangan financial inclusion di Indonesia. Financial Inclusion pada Bank Syariah telah terbukti memiliki pengaruh positif terhadap stabilitas ekonomi di Indonesia. Financial Inclusion memiliki pengaruh positif dan dapat melakukan perubahan secara cepat dan drastis terhadap kredit pada sektor usaha kecil dan menengah.
Bank Syariah memegang peranaan yang besar dan penting dalam peningkatan Index Financial Inclusion di Indonesia., dimana Index Financial Inclusion pada Bank Syariah di Indonesia ini nantinya mengurangi persentase terjadinya ketimpangan pendapatan di Indonesia.
Pembaruan data mengenai Financial Inclusion di Indonesia yaitu pada tahun 2020 akan dipaparkan dalam tabel berikut ini :
Survei Nasional mengenai Financial Inclusion di Indonesia yang dilakukan oleh Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif (S-DNKI) tahun 2020 menunjukkan bahwa 81,4% masyarakat Indonesia telah menggunakan produk atau layanan lembaga keuangan formal. Persentase tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018 yaitu sebesar 78,8%.
Sementara itu sebesar 61,7% masyarakat Indonesia memiliki akun. Persentase ini juga meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018, yakni sebesar 55,7%. Penerimaan program bantuan dari pemerintah juga turut memberi kontribusi terhadap peningkatan kepemilikan akun. Sebanyak 7 dari 10 masyarakat Indonesia penerima program bantuan pemerintah telah memiliki akun. Pada tahun 2020, penerima program bantuan pemerintah meningkat menjadi 40,8 % dibandingkan dengan tahun 2018 yang hanya memiliki persentase sebesar 17,2%.
Akses masyarakat Indonesia terhadap produk dan layanan perbankan syariah juga meningkat di tahun 2020. Penggunaan pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah meningkat sebesar 1%, penggunaan tabungan dan deposito meningkat 0,7%, penggunaan transfer bank meningkat 0,3%, dan akses masyarakat terhadap produk dan layanan perbankan syariah juga meningkat 0,6%.
Survei tersebut dilakukan terhadap 7.574 sampel masyarakat Indonesia di 34 provinsi, proyeksi populasi nasional 2020, dengan mempertimbangkan strata wilayah perkotaan/pedesaan dan gender. Persentase tersebut dilakukan normalisasi di tingkat nasional agar jumlah kasus tertimbang setara dengan jumlah sampel.(*)