Kabupaten Karawang, spiritnews.co.id – Usai mengikuti dan memaparkan materi di Seminar Restorasi Bumi yang diselenggarakan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Resort Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto dan Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM), Luh Nyoman Puspa Dewi mendapat penghargaan berupa ulos batak (diuloskan) yang diserahkan langsung oleh Pendeta Gereja HKBP Resort Karawang, Bernat Sitanggang, STh.
Seminar restorasi bumi tersebut dipandu oleh moderator Charles Bonar Sirait. Sedangkan, Sugeng dan Puspa Dewi hadir sebagai nara sumber dan memberikan pemaparan mengenai dampak penggunaan energi fosil seperti minyak, gas dan batubara.
Charles Bonar Sirait, mengatakan, sudah saatnya masyarakat Indonesia meninggalkan energi fosil dan beralih kepada energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
“Kami akan mendorong pemerintah agar segera menerapkan perpindahan dari energi fosil ke energi non fosil. Agar generasi muda Indonesia tidak mengalami dampak buruk dari suhu bumi yang semakin panas di kemudian hari,” kata Bonar.
Pendeta Resort HKBP Karawang, Bernat Sitanggang, S.Th, mengatakan, seminar restorasi bumi ini merupakan salah satu bagian pelayanan gereja, khususnya Gereja HKBP Kabupaten Karawang yang ikut ambil bagian dalam pembangunan.
“Jemaat kami ada 1.500 kepala keluarga. Kami akan terus berjuang dengan rendah hati agar tetap bisa beribadah ada ambil bagian untuk pembangunan Kabupaten Karawang, kata Bernat.
Ia akan selalu menyuarakan dengan merajut kebersamaan, agar dapat memperbaiki atau restorasi mental rakyat Indonesia.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, mengatakan, sudah saatnya masyarakat meninggalkan energi fosil (minyak, gas dan batubara) dan beralih ke energi baru terbarukan untuk menyelamatkan suhu bumi dan penyelamatan perekonomian Indonesia.
“Selain menaikkan suhu bumi akibat pembakaran minyak,gas dan batubara, energi fosil saat ini secara ekonomi sudah jadi masalah karena menjadi beban yang sangat berat bagi APBN. Sekarang waktunya mengurangi dan meninggalkan energi fosil, menuju penggunaan EBT (energi terbarukan),” kata Sugeng, diacara seminar energi ramah lingkungan hidup di Gereja HKBP Karawang, Sabtu (20/8/2022).
Menurut Sugeng, saat ini APBN Indonesia sangat terbebani oleh subsidi energi fosil. Sebab, pemerintah Indonesia harus mengimpor minyak dari negara lain. Dampak dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia dengan Ukraina, harga minyak dunia sangat mahal.
“Saat ini subsidi untuk energi fosil telah banyak menguras APBN. Potensi EBT di Indonesia cukup tinggi jika digarap secara maksimal,” kata Sugeng.
Dikatakan, potensi EBT di Indonesia sekitar 3 ribu giga. Namun yang aktual untuk segera diproduksi bisa sampai 420 giga.
“Seperti pertalite harganya Rp 7.650, itu karena disubsidi. Harga riilnya sesesuai harga minyak dunia adalah Rp 17 ribu per liter. Bayangkan, itu seliter-nya tanpa subsidi,” jelasnya.
Untuk itu, tahun 2060 mendatang, Indonesia harus net zero emision. Sebab, suhu bumi tidak boleh lebih dari 1,5 derajat celsius. Suhu bumi semakin meningkat akibat adanya peluncuran karbon dioksida ke udara yang sangat luar biasa.
“Dari sekarang kita harus mencegah agar suhu bumi tidak naik melebihi dari 1,5 derajat celcius. Apabila itu naik lebih dari 1,5 derajat celsius, maka kutub Utara dan Selatan akan mencair,” katanya.
“Hari ini suhu bumi sudah naik 1,37 derajat celcius, karena luncuran karbon dioksida dari pembakaran energi fosil sangat tinggi, seperti minyak, gas dan batubara<’ tambahnya.
Diakuinya, Indonesia salah satu negara yang gagal menerapkan sistem pembatasan pertumbuhan penduduk. Akibatnya, sangat berpengaruh tersebut ketersediaan lahan terbuka hijau hanya karena memenuhi kebutuhan pangan dan papan (pemukiman). Akibatnya, serapan oksigen (CO2) sangat minim karena minimnya pepohonan.
Sedangkan, kebutuhan batubara sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik di Indonesia sangat tinggi. Sebab, 67 persen pembangkit listrik di Indonesia menggunakan 1,3 juta ton per tahun bahan bakar batubara.
Energi fosil batubara untuk listrik, harganya murah karena disubsidi. Listrik di Indonesia baru 68 giga yang diproduksi. Jadi 50 kali lipatnya (potensi EBT). Jika dilihat dari potensi yang cukup besar, maka EBT sangat memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.
“Dari sisi ekonomi dan efesiensi, EBT juga berpotensi ikut mengembangkan perekonomian. Seperti, sekitar setahun lalu tenaga Surya dianggap mahal dibandingkan energi fosil. Kalau dilihat sekarang ini, jika energi fosil tidak disubsidi, jauh lebih murah (EBT),” jelasnya.
“Indonesia harus segera meninggalkan energi fosil dan masuk ke energi non fosil seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), sangat berpotensi dibangun di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Indonesia juga berpotensi menggunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga angin di Sulawesi dan pembangkit listrik tenaga laut atau gelombang laut.
Dirjen Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Luh Nyoman Puspa Dewi, mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang membutuhkan energi fosil yang cukup tinggi, khususnya sektor industri dan rumah tangga.
Oleh karena itu, kata Puspa, Kementerian ESDM sedang mengkaji penggunaan kompor induksi untuk rumah tangga yang akan diberlakukan mulai tahun 2025 mendatang.
“Energi primer harus dirubah ke energi listrik. Sehingga, tahun 2060 mendatang Indonesia Net Zero Emision,” kata Puspa.(ops/sir)