HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) merupakan hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada para pencipta, inventor, pendesain dan sebagainya. Hak ini sebagai bentuk perlindungan atas jasa mereka dalam menghasilkan suatu produk, jasa, atau proses yang bermanfaat bagi khalayak luas.
Penulis : Ferisa Rahayu Pradita
Mahasiswa Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang
Kebanyakan masyarakat, sampai saat ini masih sering beranggapan bahwa Kekayaan Intelektual (KI) hanya berupa hak cipta saja. Padahal, KI mencakup Hak Cipta, Paten, Desain Industri, Merek, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak, Sirkuit Terpadu (DTLST), Indikasi Geografis, dan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).
Di lingkungan universitas, yang notabene merupakan kawah bagi para intelektual bangsa, keberadaan Sentra HKI tentu memiliki peran krusial dalam menjembatani antara para pencipta, inventor, pendesain, dan lain-lain, terutama dari lingkungan kampus dengan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkunham).
Sentra HKI berperan mendaftarkan atau mengajukan permohonan KI dari sitivas akademika untuk selanjutnya diberikan perlindungan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Lebih-lebih berbagai riset eksternal yang para sitivas akademika lakukan, menghendaki luaran berupa KI.
Terdapat beberapa jenis dan kriteria karya yang bisa diberikan perlindungan. Sebagai contoh, karya yang hendak dipatenkan, harus berupa invensi atau penemuan baru di bidang teknologi atas penyelesaian suatu masalah di masyarakat, baik pengembangan maupun perbaikan bagi invensi sebelumnya.
Sementara itu, desain industri berupa desain dari benda/barang dengan berbagai macam bentuk, baik dua dimensi, tiga dimensi, maupun berbentuk gambar (grafis). Karya-karya berupa lagu (mars dan himne) dan sejenisnya masuk ke dalam kategori Hak Cipta. Adapun untuk Merek, pendaftaran logo universitas merupakan salah satu contoh yang bisa ditemui. Di antara sekian jenis tersebut, Paten-lah yang paling membutuhkan effort tinggi dan memakan proses Panjang.
Bagi lembaga bernama Universitas sendiri, pendaftaran dan pencatatan HKI memiliki banyak manfaat penting. Pertama, bagi para dosen-dosen di dalamnya, bisa digunakan untuk BKD, PAK, kenaikan jabatan fungsional dosen, yang notabene nilainya juga setara nilai publikasi. Kedua, HKI diperlukan untuk akreditasi, baik akreditasi program studi maupun AIPT. Ketiga, HKI paten memiliki nilai komersial.
Lantas bagaimanakah urgensi HKI ini di masa-masa seperti sekarang ini, yang notabene kian identik dengan era yang memungkinkan individu dan kelompok mana pun bisa sangat leluasa berkarya dan bebas memublikasi ?
Pertama, secara umum, sebagaimana disebutkan di awal, bahwa pencatatan HKI terhadap karya yang kita hasilkan akan menjamin perlindungan hak, sebab secara otomatis hak-hak kita akan melekat dalam karya terkait, tidak tekecuali hak ekonomi.
Di era yang seterbuka apapun, apabila HKI bisa diperkuat dan diperketat, maka sebagai contoh terbaru, dalam kasus hak cipta lagu atau musik royalti dari karya-karya yang kita hasilkan akan ‘mengalir’ dengan sendirinya ke dalam ‘saku’. Untuk kasus paten sendiri, sejatinya invensi yang didaftarkan oleh individua tau kelompok lantaran di dalamnya memang diketahui memiliki nilai ekonomi.
Kedua, kasus-kasus tersebut di duplikasi, plagiasi dan semacamnya terhadap karya orang lain, sampai hari ini masih kerap kita jumpai. Berkaitan dengan itu, HKI tentunya juga dapat menjamin kepemilikan atas karya yang kita miliki, sehingga dapat mengantisipasi kasus-kasus pelanggaran hak cipta sebagaimana disebutkan tadi.
Ketiga, sangat berkaitan dengan nilai ekonomi, bahwa HKI dapat mendongrak kompetisi dan memperluas jangkauan pasar khususnya dalam konteks komersial Kekayaan Intelektual.
Pendaftaran dan pencatatan HKI, tentunya menumbuhkan motivasi dari para pencipta, inventor, pendesain, dan sebagainya untuk terus berkarya dan berinovasi, serta mendapatkan apresiasi dari karya-karya yang ia hasilkan.
Oleh karena itu, dapat menysuaikan dan memuat norma-norma yang baru, memiliki standar yang lebih tinggi serta memuat ketentuan-ketentuan penegakan hukum yang kuat. Komitmen Indonesia terhadap perlindungan HKI sedang diuji.
Begitu banyak pelanggaran seperti pembajakan, penjiplakan, dan pemalsuan terhadap karya-karya intelektual manusia telah memasukkan Indonesia ke dalam peringkat Priority Watch List. Suatu peringkat yang dimana tergolong berat dan dapat mengakibatkan terjadinya retaliasi di bidang ekonomi.(*)