Sistem Pemilu Indonesia

  • Whatsapp

MESKIPUN banyak perkembangan positif yang telah di lalui, akan tetapi masalah masih tetap banyak dijumpai. Indonesia pasca-1998 terus mengalami pasang surut demokrasi. Akan tetapi sejumlah perkembangan positif bermunculan, diantaranya adanya beragam partai politik, pelaksanaan Pemilu yang bebas dan adil (5 kali sejak 1999-2019), dan terjadinya amandemen UUD 1945.

Penulis : Ana Mas’udah

Bacaan Lainnya

Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang

Selain itu, mendorong peran perempuan di ranah publik, penghapusan perwakilan TNI-Polri di parlemen, mengurangi peran kontrol negara terhadap organisasi sosial, kebebasan berpendapat berserikat dan media massa, dan adanya pembagian kekuasaan ke dalam trias politika (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Akan tetapi, sejumlah masalah masih saja ada, seperti dijumpainya kekurangan kebutuhan dasar manusia di sejumlah daerah dan merajalelanya korupsi di institusi parlemen, kepolisian, kejaksaan, ataupun lembaga pemerintah seperti kementerian dan kepala daerah.

Selain itu, hubungan patrimonial dan nepotisme masih menggejala di lembaga-lembaga demokrasi, terutama mereka yang berurusan dengan rekrutmen ASN. Toleransi terhadap sesama juga lemah, sering kali terjadi saling klaim bahwa kelompoknya paling pancasilais dan lainnya tidak, begitu juga sebaliknya. Perang narasi kebenaran merajalela di dunia maya. Hambatan juga terjadi pada perekonomian Indonesia.

Harga-harga bahan dasar seperti BBM, bahan pokok makanan juga meningkat, hal ini diakibatkan oleh resesi ekonomi. Hukum yang berlaku pun lebih tajam ke bawah akan tetapi tumpul ke atas, tajam pada oposisi dan tumpul kepada penguasa, tajam ke orang miskin dan tumpul kepada konglomerat.

Bahkan tidak jarang pemerintah malah menjadikan Lembaga independent negara sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan. Masih aktifnya kelompok radikal mengatasnamakan Islam, gerakan separatis di sejumlah daerah, dan gerakan terorisme yang menakut-nakuti dunia seolah Islam ialah agama yang berbahaya.

The Economist Intelligence Unit (EIU) mengategorikan demokrasi Indonesia sebagai ‘flawed democracy’ (demokrasi cacat) dengan menunjukkan fakta, demokrasi secara prosedural memang berhasil menyelenggarakan pemilu, tetapi lemah dalam hal tata kelola, memiliki budaya politik yang terbelakang, partisipasi politik yang lemah.

Sejumlah ahli Indonesia memberikan julukan terhadap pemerintahan Indonesia saat ini. Jokowi yang disebut oleh Ben Bland (2020) sebagai Man of the People kini tidak sedikit dari pendukungnya yang kecewa. Jokowi berubah menjadi presiden yang terpencil dan jauh dari rakyatnya, terkepung dan tersandera oleh kelompok bangsawan, baik kalangan elite bisnis maupun elite politik.

Bland menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi merupakan rezim yang penuh dengan kontradiksi dan berlawanan dengan wajah Indonesia yang modern. Rezim pemerintahan Jokowi pada periode yang kedua menunjukkan kekacauan dengan sejumlah bukti seperti peminggiran hak-hak sipil dan politik karena hanya fokus mengurusi pandemi, memberi ruang terlalu luas terhadap militer untuk mengatur urusan publik.

Mendiskriminasi kelompok Islam dan memberi stempel mereka sebagai intoleran (repressive pluralism), serta menciptakan dinasti politik dengan mengizinkan anak dan mantu bertarung pada Pilkada 2020 (family dynasty). Hal ini digambarkan oleh Greg Fealy (2020). Lalu bagaimana cara mendesain pemilu yang relevan untuk Indonesia ?

Modifikasi Sistem

Sistem pemilu pertama yang digunakan pada tahun 1955 ialah closed list proportional representation (CLPR) atau dikenal juga dengan sebutan sistem proporsional tertutup. Sistem ini berlaku selama era Orde Baru dan berakhir pada Pemilu 1999.

Kemudian pada Pemilu 2004, sistem yang digunakan memang masih CLPR, tetapi telah mengalami modifikasi sehingga ada unsur sistem open list proportional representation (OLPR) atau dikenal dengan sebutan sistem proporsional terbuka. Barulah sejak Pemilu 2009-2024, sistem pemilu di Indonesia menggunakan sistem OLPR murni. Adanya penerapan sistem OLPR sejak 2009 sebenarnya dikarenakan dari kelemahan sistem CLPR yang dianggap seperti memilih kucing dalam karung.

Artinya, pemilih tidak bisa memengaruhi keterpilihan caleg secara langsung karena pemilihhanya diizinkan memilih partai saja sehingga di bawah sistem CLPR, hanya caleg yang berada di nomor urut terkecil saja yang mempunyai peluang besar untuk masuk ke parlemen. Sistem OLPR dianggap seperti pertarungan pasar bebas antar kandidat yang kuat saja.

Siapa yang punya modal banyak, mereka menang. Mereka yang terpilih sering kali bukan karena kualitas, tetapi karena isi tas. Dampaknya, politik uang dan sejumlah pelanggaran pemilu lainnya kerap dilakukan para caleg yang bekerja sama dengan brokers jualan suara.

Sistem OLPR juga cenderung memberikan peluang ke para konglomerat dan pemilik modal memberikan bantuan keuangan kepada para kandidat. Karena itu, kandidat yang terpilih tidak murni atas perjuangan sendiri, tetapi meninggalkan utang balas budi yang harus mereka bayar setelah terpilih.

Inilah titik rawan yang dapat mengakibatkan terjadi korupsi, suap, dan sejenisnya. Konteks pemilu di Indonesia, perdebatan dua kubu antara OLPR dan CLPR memang tidak akan pernah selesai. Semua pihak memiliki alasan masing-masing. Partai politik mempunyai kepentingannya sendiri jika memberikan usulan sistem mana yang terbaik.

Karena itu, perlu titik tengah untuk memodifikasi sistem list proportional representation (LPR) agar tidak terjebak pada titik ekstrem antara tertutup dan terbuka.

Keserentakan Pemilu Nasional dan Lokal

Pembagian dua pemilu itu dapat dipisah dengan jarak 2,5 tahun. Pemilu serentak nasional bertujuan memilih DPR RI, DPD RI, dan presiden-wakil presiden. Sementara itu, pemilu serentak lokal bertujuan memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan wali kota/bupati. Tujuan desain ini ialah untuk menghidupkan dinamika politik nasional dan lokal.

Karena itu, tidak terjadi penumpukan pemilu yang sering kali mengakibatkan pemilu lokal tertutup dengan isu pemilu nasional. Model desain Pemilu 2019 dan 2024 pada kenyataannya hanyalah panggung untuk pilpres.

Sementara itu, pemilu untuk legislatif dan DPD tidak dirasakan masyarakat, padahal ini penting karena kita memilih wakil rakyat yang menentukan regulasi dan anggaran.

Apabila pemilu diserentakkan total seperti 2019 dan 2024, penyelenggara pemilu bisa kehilangan momentum untuk bekerja. Bahkan, berpotensi menjadi badan ad hoc, terutama di tingkat provinsi ke bawah. Jika alasan keserentakan seperti pada 2024, terjadi apa yang disebut dengan ‘overdosis demokrasi’.

Ini artinya jika kemampuan Indonesia sebenarnya hanya tiga jenis pemilu, saat dipaksakan untuk menyelenggarakan dengan lima jenis pemilu, bahkan pada tahun yang sama ditambah dengan dua jenis pilkada, yang mengalami overdosis atau mabuk pemilu bukan hanya penyelenggara pemilu, melainkan juga partai politik dan pemilih.

Memang, dampak dari keserentakan pemilu model 2019 dan 2024 ialah penghematan anggaran negara. Meski secara anggaran lebih hemat, ongkos terbesar justru terjadi kegagalan pada psikososial masyarakat, yaitu pembengkakan konflik horizontal dan polarisasi masyarakat yang terus-menerus tiada henti.

Efek Pilpres 2019, pada kenyataannya masih terasa hingga detik ini, bahkan polarisasi tersebut masih tetap hidup hingga 2024 dengan pola yang sedikit berbeda. Substansi ongkos psikososialnya sangat tinggi. Hemat secara anggaran, tapi defisit psikososial.

Jika ditimbang-timbang, justru lebih mahal ongkos psikososial karena yang dirugikan ialah rakyat. Ini yang perlu dipertimbangkan kembali oleh para pemangku kebijakan untuk tidak lagi mengulangi model keserentakan Pemilu 2019 maupun 2024.

Ambang Batas dan Revisi UU Partai Politik

Selain desain keserentakan pemilu dan modifikasi sistem pemilu, hal yang juga perlu direkayasa ialah ambang batas, baik untuk parlemen (parliamentary threshold) maupun presiden (presidential threshold). presidential threshold harus merupakan hasil pemilu legislatif pada tahun yang sama, bukan hasil pemilu sebelumnya.

Besaran presidential threshold dihapus dan diganti dengan aturan bahwa setiap partai politik yang lolos ambang batas parlemen, partai tersebut berhak menominasikan capres sendiri. Desain ini juga merupakan penghargaan yang diberikan sistem pemilu terhadap partai yang telah bekerja keras dan lolos ke parlemen.

Dengan demikian, dinamika politik nasional akan hidup dan tidak membatasi jumlah capres. Pembatasan hanya dua capres harus dihindari agar demokrasi tetap dinamis.

Ada pihak yang mengatakan bahwa sebaik apa pun sistem pemilunya, jika para aktor politik dikuasai orang-orang yang tidak memiliki hati nurani, tetap saja rusak. Di satu sisi, ungkapan ini ada benarnya. Di sisi lain, penulis masih meyakini sistem dapat memengaruhi pola perilaku aktor.

Temuan disertasi Doktor Ahmad Norma Permata (2008) menyatakan dengan regulasi pemilu yang liberal saat ini, ternyata PKS sebagai partai Islam pun dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang ada sehingga politikus PKS menjadi aktor rasional dan tidak lagi mengampanyekan syariat Islam.(*)

Editor: Lassarus Samosir, SE

Pos terkait