KONSTRUKSI desain sistem penegakan hukum pidana pemilu hingga saat ini masih sangat rumit, berlapis-lapis dan terkesan saling mengunci sehingga sering menghasilkan bottleneck. Desain yang saat diterapkan masih menggambarkan sangat banyaknya pintu birokrasi penegakan hukum Pemilu, terutama dalam penegakan pidana Pemilu. Hal ini kurang sesuai dengan prinsip penegakan hukum pemilu yang sederhana, cepat, dan bersifat binding.
Penulis : Engkus Kusnadi
Kordiv Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Karawang
Dalam tatanan Sosiologis Hukum Masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik serta menghendaki keseimbangan tiap masalah dan kebijakan hukum perlu diteliti kasus demi kasus, sehingga penyamarataan bagi keseluruhan kasus tindak pidana pemilu, apalagi bagi di Indonesia akan mengakibatkan ketidakadilan.
Dengan diaturnya masalah tindak pidana dalam pemilihan umum, baik dalam KUHP maupun Undang-undang Pemilihan Umum termasuk juga aturan KPU, ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang menganggap pemilihan umum itu merupakan hal yang diperlukan dalam kehidupan berdemokrasi dan bernegara di Indonesia. sehingga perlunya pemilihan umum tersebut bisa dilaksanakan dengan Jujur dan adil.
Bagi pihak-pihak yang mengikuti proses pemilu, khususnya kandidat, sanksi yang sangat berat adalah sanksi administratif seperti pembatalan kandidat. Kalaupun diancam sanksi pidana, harus bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu (teori tujuan), seperti deterrence (penyangkalan).
Dalam setiap tahapan Pemilu, permasalahan demi permasalahan selalu muncul sekalipun berbagai langkah antisipatif sudah dilakukan pihak penyelenggara. Salah satu persoalan yang terjadi dalam Pemilu 2019 dan masih menjadi perbincangan jajaran penyelenggara dan para pemerhati pemilu adalah efektivitas penegakan hukum pidana pemilu.
Dalam Pasal 476 sampai Pasal 487 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah diatur bagaimana mekanisme penanganan tindak pidana dalam Pemilu 2019, mulai dari tata cara penanganan dan majelis khusus tindak pidana pemilu, sampai sentra penegakan hukum terpadu (sentra gakkumdu).
Menurut catatan, selama penyelenggaraan Pemilu 2019, Bawaslu telah menerima laporan atau temuan tindak pidana Pemilu sebanyak 2.724 laporan atau temuan, jauh lebih sedikit dibandingkan Pemilu Legislatif 2009 yang terjadi 6.017 kasus pelanggaran pidana di seluruh wilayah Indonesia.
Dari 2.724 laporan atau temuan tersebut yang dilanjutkan ke tahap penyidikan sebanyak 582 perkara, berhenti di tahap penyidikan sebanyak 132 perkara, dan berhenti di tahap penuntutan sebanyak 41 perkara.
Sedangkan total perkara yang berlanjut ke tahap pemeriksaan di sidang pengadilan sampai keluar putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde) hanya sebanyak 320 perkara.
Pemilu tanpa mekanisme dan iklim pengawasan yang bebas dan mandiri akan menjadikan Pemilu sekadar agenda demokrasi yang dipenuhi kecurangan. Akibatnya, Pemilu yang dilaksanakan dari waktu ke waktu akan kehilangan kejujuran, yang pada akhirnya membuat Pemilu menjadi tidak berkualitas. Tepatlah kiranya bila pengawasan Pemilu dipandang sebagai basic an objective needs dari setiap Pemilu yang digelar.
Kekosongan hukum ini tidak boleh begitu saja melepaskan seseorang dari jerat hukum, karena pertanyaan berikunya adalah keadilan apa yang bisa kita berikan kepada masyarakat ? Oleh karenanya dalam kasus ini diperlukan metode penegakan hukum yang bermuatan hukum progresif.
Jadi hukum untuk membahagiakan manusia, hukum untuk mengabdi untuk kepentingan manusia. Bukan manusia untuk hukum. Sehingga kami memaknainya bahwa demi rasa keadilan masyarakat dan memberikan nilai kepastian hukum, maka sebagai penegak hukum pemilu Sentra Gakkumdu harus bisa melakukan terobosan dan penemuan hukum (recthvindings), mengingat kasus serupa masih belum ada selama perhelatan Pemilu 2019.(*)