Kota Banda Aceh, spiritnews.co.id – Sekelompok mahasiswa dari DPW Alam Aksi Aceh menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Polda Aceh Lingke Banda Aceh, Kamis (15/6/2023).
Dalam orasinya, Koordinator Aksi, Musda Yusuf, mengatakan, aksi ini dilakukan oleh mahasiswa sebagai bentuk kekecewaan terhadap sejumlah indikasi korupsi di Banda Aceh pada APBK-P tahun 2023 tentunya tak mungkin terjadi tanpa adanya intruksi dan arahan dari seorang pimpinan atau pihak tertentu yang ditunjuk pimpinan mewakilinya mengarahkan penggunaan tersebut.
“Kami mahasiswa mendukung langkah Polda Aceh untuk dapat mengusut secara tuntas kasus korupsi. Setidaknya ada beberapa indikasi korupsi serius, diantaranya pengelolaan anggaran Bagian Umum dan Kehumasan (BUK) Sekretariat Kota Banda Aceh, yang bersumber dari APBK Perubahan 2022. Diduga penggunaan biaya publikasi ini punya relevansi dengan alokasi anggaran yang didalamnya diperuntukkan untuk kepentingan pokir anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK),” kata Musda.
Kemudian, anggaran taktis yang selama ini dipakai oleh Pj Walikota untuk publikasi baik di media massa maupun baliho yang dipajang di seluruh Kota Banda Aceh. Jadi, seharusnya Polda mengusut hingga tuntas potensi adanya arahan Pj Walikota sebagai pimpinan atau oknum tertentu yang ditunjuk pimpinan untuk mengarahkan, atau dewan mana saja yang kemungkinan menggunakan anggaran tersebut.
Hal kedua yang tak kalah penting yakni indikasi pengalihan penggunaan anggaran seperti dana bagi hasil (DBH) pajak sebesar Rp 1,5 miliar dan peruntukan dana transfer gedung Banda Aceh Madani Education Center (BMEC) dari Pemerintah Aceh sebesar Rp 20 miliar semakin menguatkan adanya kemungkinan penumpang gelap dalam pelaksanaan realisasi APBK-P Banda Aceh tahun 2022.
Walaupun, persoalan ini sempat diusut Polresta namun saat ini terlihat didiamkan begitu saja, seharusnya Polda yang kini sedang mendapat apresiasi masyarakat segera melakukan suvervisi terkait perkara tersebut. Padahal ini persoalan serius, apa mungkin ada pengalihan anggaran tanpa ada arahan pimpinan.
Hal yang lebih fatal adanya indikasi program siluman pada APBK-P Tahun Anggaran 2022 yang diduga menjadi penyebat hutang Pemko Banda Aceh membengkak hingga ratusan miliar, padahal sudah dilakukan pencermatan anggaran melalui rasionalisasi anggaran pada APBK-P 2022.
Terkait persoalan ini, kita sangat yakin bahwa DPRK terutama banggar pastinya terkejut karena hutang Pemko berdasarkan audit BPK RI mencapai Rp 105 miliar sementara awalnya hutang tahun 2022 diperkirakan paling hanya sekitar Rp 60 miliar.
Sehingga, kemungkinan indikasi penumpang gelap dalam APBK Perubahan Tahun 2022 itu nilai anggarannya sangat fantastis mencapai puluhan miliar. Polda sebagai penegak hukum harus mengusut ini hingga diketahui dalang yang berpotensi menitip program diluar pembahasan di DPRK.
Tak sebatas itu, penggunaan anggaran usulan hingga operasional DPRK Banda Aceh yang tidak rasional pada tahun anggaran 2021 yang sempat mencuat karena menjadi temuan juga patut segera diusut.
Bayangkan saja sebanyak Rp 1,5 miliar APBK Banda Aceh yang diperuntukkan untuk reses DPRK ditemukan laporan pertanggung jawabannya terindikasi fiktif. Pertangungjawaban belanja barang dan jasa pada kegiatan reses DPRK Banda Aceh pada tahun anggaran 2021 sebesar Rp 1.585.359.776 tidak valid dan berpotensi menimbulkan kerugian daerah.
Karena temuan awalnya sudah ada dan waktu kesempatan pengembalian potensi kerugian negaranya selama 60 hari kelender juga sudah lewat sebagaimana peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2007, maka sudah seyogyanya pihak Kejati sebagai penegak hukum untuk menyelidiki persoalan ini, sehingga publik yakin bahwa penegakan hukum di Aceh tidak tebang pilih, dan tidak hanya tajam ke bawah lalu tumpul ke atas.
Berdasarkan temuan BPK RI, pada tahun anggaran 2021, Pemkot Banda Aceh menganggarkan belanja barang dan jasa sebesar Rp 492.596.694.233 dengan realisasi sebesar Rp 390.136.638.804 atau 79,20 persen.
Anggaran tersebut di antaranya dipakai untuk kegiatan pelaksanaaan reses bagi 30 orang pimpinan dan anggota DPRK pada Sekretariat DPRK dengan jumlah realisasi sebesar Rp 2.505.981.530, ditambah utang belanja kegiatan reses akibat tidak tersedianya dana di Kas Daerah sebesar Rp 744.285.450.
Pada tahun 2021, dijelaskan BPK, kegiatan reses DPRK Banda Aceh dilaksanakan selama enam hari untuk setiap masa reses sehingga pelaksanaan reses dalam setahun menjadi 18 hari per orang berdasarkan daerah pemilihan (dapil). Sementara alokasi anggaran pelaksanaan reses setiap Pimpinan dan Anggota DPRK tahun 2021 sebesar Rp 108.190.527 per orang untuk tiga kali masa reses.
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh BPK secara uji petik terhadap Surat Pertanggungjawaban (SPJ) kegiatan tersebut, didapati sejumlah permasalahan, yaitu, SPJ belanja barang dan jasa dalam kegiatan reses senilai Rp 1.585.358.776 tidak valid. Kemudian ada tiga penyedia pengadaan barang dan jasa pada kegiatan tersebut, yaitu CV HC, CV NP dan CV FUJ dengan jumlah pembayaran sebesar Rp 1.023.267.294 dan jumlah yang belum dibayarkan sebesar Rp 570.150.232.
Dokumen SPJ juga disebutkan ketiga penyedia tersebut menyediakan toolkit, spanduk, fotokopi, sewa tempat pertemuan, sewa sound system, cetak foto, serta menyediakan makan dan minum. Namun, ketika dilakukan konfirmasi terhadap ketiga pemilik perusahaan, ketiganya menyatakan tidak menyediakan barang dan jasa untuk kegiatan reses, namun hanya membuat faktur pembelian yang menjadi dokumen pertanggungjawaban.
Dari uji petik BPK ini dapat kita lihat bahwa ada indikasi fiktif dari laporan kegiatan, sehingga terindikasi besar kemungkinan adanya kerugian negara. Dalam temuan BPK disebutkan bahwa Pemilik CV HC, FZL mengatakan uang kegiatan reses yang masuk ke rekening perusahaannya senilai Rp 496.191.849 (sesuai faktur SPJ) dan diserahkan ke pendamping reses anggota DPRK yang juga merupakan istrinya, RHL senilai Rp 486.018.591 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp 10.173.258, sehingga FZL tidak mengetahui pengeluaran real atas kegiatan reses tersebut.
Dalam temuan itu bahwa pemilik CV NP, SFL mengatakan uang kegiatan reses yang masuk ke rekening perusahaannya senilai Rp 147.906.599 (sesuai faktur SPJ) dan diserahkan kepada pendamping reses yang juga istrinya, AHS senilai Rp 144.757.018 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp 3.149.581, sehingga SFL tidak mengetahui pengeluaran rill atas kegiatan reses tersebut.
Pemilik CV FUJ, FZH mengatakan juga menarik uang kegiatan reses yang masuk ke rekeningnya senilai Rp 379.168.846 dan uang tersebut diberikan kepada beberapa anggota DPRK sebesar Rp 373.320.700 dengan keuntungan yang dihitung BPK senilai Rp 5.848.146.
Saat dilakukan permintaan bukti pertanggungjawaban yang real atas belanja kegiatan tersebut, bukti pengeluaran kegiatan reses hanya sebesar Rp 8.057.750 yang diberikan oleh RHL. Sementara pendamping reses lainnya yang menerima uang dari CV HC, CV NP serta beberapa anggota DPRK dari CV FUJ sampai dengan pemeriksaan terakhir tidak menyampaikan bukti-bukti pengeluaran yang real. Maka dari itu, kegiatan reses yang dibuat oleh ketiga CV tersebut dengan nilai Rp 1.585.359.776 (Rp 1.593.417.526 – 8.057.750) tidak dapat diyakini kebenaran realisasinya.
Selain itu, BPK juga menemukan kesalahan anggaran belanja alat/bahan kantor-bahan cetak terkait kegiatan reses sebesar Rp 805.859.000 yang dipakai untuk pembayaran utang belanja tahun 2020. Anggaran belanja tahun 2020 tersebut bukan untuk kegiatan reses melainkan kegiatan rapat-rapat paripurna, rapat-rapat alat kelengkapan dewan, dan pengadaan perlengkapan gedung kantor.
Sejumlah temuan lain juga disebutkan BPK, yaitu terjadi pembebanan keuangan daerah terkait belanja dalam anggaran kegiatan reses sebesar Rp 1.202.623.980 tidak sesuai dengan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2017.
Seharusnya sesuai qanun, anggaran yang disediakan oleh Sekretariat DPRK hanya konsumsi, ATK, sewa tempat yang diberikan pihak ketiga, sedangkan Pimpinan dan Anggota DPRK diberikan uang perjalanan dinas.
Bahkan pada tahun anggaran 2021 disebutkan BPK juga menemukan anggaran sekitar Rp. 75 juta rupiah pada anggaran sekretariat dewan digunakan oknum dewan untuk alasan pembelian papan bunga pribadinya, bayangkan saja berapa banyak papan bunga untuk kepentingan pribadinya yang dibeli oleh oknum dewan tersebut.
Hal serupa juga tidak menutup kemungkinan adanya anggaran publikasi yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah per oknum dewan dititip di SKPK, katakan saja salah satu contoh pada dinas dayah Kota Banda Aceh salah satu oknum DPRK pernah menitip anggaran untuk cetak balihonya dengan nominal fantastis hingga ratusan juta rupiah.
Melihat fakta-fakta tersebut, Musda Yusuf selaku Korlap Aksi mengungkapkan dalam aksi ini para mahasiswa menyuarakan 4 poin tuntutan, diantaranya Polda Aceh mengusut tuntas indikasi korupsi pada APBK P T.A. 2022 yang sudah dilakukan dan mengusut kemungkinan keterlibatan Pj Walikota dan Oknum DPRK dalam pengaturannya. Mendesak Polda Aceh untuk mengusut temuan BPK RI terkait indikasi penggunaan reses DPRK Banda Aceh pada APBK T.A. 2021 yang diduga fiktif.
Selain itu, mengusut penggunaan anggaran negara untuk kepentingan baliho sosialisasi oknum dewan dan papan bunga pribadi oknum dewan pada APBK T.A. 2021.
Selanjutnya, mengusut indikasi adanya penumpang gelap yang menyusupi APBK P 2023 sehingga membuat hutang Pemko Banda Aceh T.A. 2022 membengkak dari proyeksi awal yang diperkirakan banggar DPRK hanya sekitar Rp 60 miliar (sudah include sisa hutang 2021 sebesar Rp 23 miliar), namun nyatanya pemko terhutang hingga Rp 105 miliar. Tentunya selisih Rp 45 miliar dari proyeksi awal itu menjadi tanda tanya publik, dikemanakan uang puluhan milyar tersebut.
“Semoga Polda Aceh dapat menunjukkan kinerjanya dalam menuntaskan persoalan korupsi diatas dengan menjunjung tinggi slogan promoter Polri,” ungkapnya.(mah/sir)