Miris, Masih Ada Pasien BPJS yang Alami Diskriminasi

  • Whatsapp

SUDAH MENJADI rahasia umum bahwa banyak masyarakat yang mengeluh karena mendapat perlakuan berbeda saat mengakses layanan kesehatan menggunakan BPJS Kesehatan. Mereka merasa bahwa layanan yang diberikan kepada pasien yang membayar secara pribadi lebih baik dibandingkan layanan kepada pasien BPJS Kesehatan.

Penulis : Arie Yudhi Setiawan

Bacaan Lainnya

Mahasiswa Akuntansi – Universitas Muhammadiyah Malang

Sungguh sangat disayangkan mengingat kedua jenis pasien tersebut memiliki hak untuk memperoleh layanan kesehatan yang sama baiknya.  Sebagai akibat dari adanya diskriminasi terhadap pasien BPJS Kesehatan, beberapa pihak mulai berani untuk melaporkan diskriminasi tersebut.

Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik juga memperoleh aduan yang cukup banyak terkait pembedaan perlakuan kepada pasien BPJS Kesehatan. Bahkan terjadi peningkatan jumlah aduan masyarakat setiap tahun.

Dalam hal ini, Ombudsman RI memperoleh lebih dari 300 aduan pada tahun 2021. Jumlah tersebut terus meningkat hingga mencapai 400 aduan pada tahun 2022. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa semakin banyak pasien BPJS Kesehatan yang memperoleh diskriminasi saat mengakses layanan kesehatan.

Lalu bagaimana bentuk diskriminasi yang diterima pasien BPJS hingga mereka harus melayangkan aduan atas pelayanan yang mereka terima? Yuk simak pembahasannya ! Berdasarkan catatan dari BPJS Watch pada tahun 2022, kasus diskriminasi yang sering ditemui adalah re-admisi dan penonaktifan peserta BJPS.

Terkait dengan re-admisi, pasien BPJS Kesehatan yang masih membutuhkan perawatan diharuskan untuk pulang. Kondisi tersebut biasa dilakukan oleh pihak rumah sakit saat biaya yang dihabiskan oleh pasien melebihi biaya paket perawatan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan.

Sungguh miris, pasien yang seharusnya memperoleh perawatan hingga dinyatakan sembuh harus terpaksa dipulangkan karena pembengkakan biaya. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak BPJS Kesehatan belum mampu meng-cover pasien yang membutuhkan biaya tinggi.

Bentuk diskriminasi lainnya berkaitan dengan antrean pasien BPJS Kesehatan. Dalam hal ini, antrean pasien BPJS Kesehatan pada bagian resepsionis rumah sakit biasanya dibedakan dengan pasien umum atau pasien yang mengeluarkan biaya sendiri. Hal yang menjadi permasalahan adalah antrean bagi pasien BPJS Kesehatan menjadi lebih lama dibandingkan pasien umum.

Hal ini dikarenakan pihak lembaga kesehatan mendahulukan pasien umum untuk mendapatkan pelayanan. Kasus yang sama juga dialami pada antrean pasien untuk mendapatkan obat sehingga pasien BPJS Kesehatan harus menunggu lebih lama.

Salah satu kasus diskriminasi yang paling fatal dicontohkan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan yakni Ali Ghufron Mukti. Ali mengatakan bahwa terdapat pasien BPJS Kesehatan yang terpaksa harus ditempatkan di basement rumah sakit.

“Contoh lagi sebuah rumah sakit ya, pasien BPJS itu di basement,” ujar Ali saat sesi wawancara dengan wartawan di Jakarta Selatan, Selasa (14/3/2023). Selain beberapa kasus diskriminasi yang telah dicontohkan, masih terdapat berbagai bentuk diskriminasi lain yang ditujukan kepada pasien BPJS Kesehatan seperti pembedaan jenis obat, jadwal operasi yang diundur tanpa persetujuan pasien, hingga penolakan pasien BPJS Kesehatan.

Melihat beberapa bentuk diskriminasi yang diberikan kepada pasien BPJS Kesehatan, sangat disayangkan bahwa pihak BPJS Kesehatan belum mampu memberikan hak pasien dengan baik. Pasien BPJS Kesehatan yang juga menyandang status sebagai masyarakat Indonesia harus diberikan perlakuan yang berbeda saat menggunakan pelayanan publik.

Selain itu, pihak BPJS Kesehatan belum memiliki regulasi atau standar yang mampu mengatur rumah sakit, puskesmas, dan lembaga kesehatan lainnya agar memberikan pelayanan yang prima kepada pasien BPJS Kesehatan.

Menanggapi praktik diskriminasi tersebut, pihak BPJS Kesehatan telah berupaya untuk menyediakan media bagi masyarakat untuk membuat laporan terkait tindak diskriminasi kepada pasien BPJS Kesehatan.

Namun, pada kenyataannya aduan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh pihak yang bersangkutan. Hal ini dibuktikan dengan masih terjadinya praktik diskriminasi yang diberikan kepada pasien BPJS Kesehatan hingga kini.

Bahkan Ombudsman RI juga telah mendorong pihak BPJS Kesehatan untuk menyusun regulasi keterbukaan informasi publik dalam mengakses layanan kesehatan. Tujuannya agar pihak BPJS Kesehatan mampu menindaklanjuti berbagai aduan dari masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien.

Tapi apakah pihak BPJS telah mampu menindaklanjutinya? Mengingat praktik diskriminasi kepada pasien BPJS Kesehatan masih bisa ditemui hingga saat ini, maka jawabannya pihak BPJS Kesehatan belum mampu menindaklanjuti permasalahan tersebut.

Sudah seharusnya pihak BPJS Kesehatan mulai terbuka dengan apa yang dirasakan oleh para pasien. Mengingat salah satu fungsi BPJS Kesehatan adalah memberikan jaminan sosial kesehatan bagi para penggunanya. Selain itu, pihak BPJS Kesehatan juga harus tegas kepada para mitra baik puskesmas atau rumah sakit yang terbukti melakukan fraud atau bentuk penyelewengan lain terhadap biaya paket kesehatan yang diberikan kepada pasien.

Dengan demikian, hanya lembaga kesehatan yang mampu memberikan layanan kesehatan yang prima yang bisa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Kondisi ini diharapkan mampu meminimalisir tindak diskriminasi kepada pasien BPJS Kesehatan sehingga terjadi peningkatan kepuasan pasien saat memperoleh layanan kesehatan.(*)

Editor: Lassarus Samosir, SE

Pos terkait