Kota Banda Aceh, spiritnews.co.id – Terlepas apapun klarifikasi dan bantahan mantan pimpinan DPRA Irwan Djohan terkait indikasi mega korupsi proyek Multiyears Contract(MYC) pembangunan 14 ruas jalan dan jembatan senilai Rp 2,7 triliun itu, namun faktanya Irwan Djohan sendiri yang pernah mengakuinya di publik ikut menandatangani MoU proyek tersebut.
“Itukan pengakuan Irwan Djohan sendiri di publik melalui media, jejak digitalnya juga ada koq. DIa yang mengaku tanda tangani MoU penganggarannya Proyek MYC triliunan rupiah itu. Padahal penandatanganan itu tidak dilakukan secara kolektif dan kolegial oleh DPRA. Bahkan, Komisi IV DPRA saat itu sudah mengeluarkan rekomendasi menolak mega proyek tersebut. Inikan fakta yang terjadi, sehingga wajar publik mempertanyakan apakah ada indikasi gratifikasi atau suap menyuap dalam proses penandatanganan MoU tersebut, sehingga pimpinan DPRA Irwan Djohan berani secara diam-diam menandatangani tanpa seoengetahuan anggota DPRA lainnya termasuk banggar dan komisi IV DPRA,” ujar ketua DPD Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Banda Aceh, Musra Yusuf, Selasa (8/7/2024).
Menurutnya, dalam hal pengusutan mega korupsi maka aparat penegak hukum(APH) harus mengusutnya dari hulu ke hilir. Mulai dari proses penganggarannya yang tidak sesuai prosedur dan juga berpotensi terjadi gratifikasi hingga pelaksanaannya.
“Jadi, pimpinan DPRA yang sudah mengaku teken MoU Proyek MYC itukan Irwan Djohan, jadi penegak hukum bisa periksa dulu Irwan Djohan, mengenai ada pimpinan lainnya yang juga ikut tanda tangan nanti seiring waktu juga terbongkar kan. Kemudian nanti penegak hukum yang memutuskan apakah ada praktek korupsi seperti suap atau gratifikasi dalam penandatanganan nota kesepahaman mega proyek itu,” jelasnya.
Mengenai apakah Irwan Djohan terlibat atau tidak itu sepenuhnya berdasarkan hasil pengusutan dan penyidikan APH atau lembaga anti rasuah KPK, bukan berdasarkan asumsi atau pembelaan pribadinya.
“Jadi perumpamaannya begini, jika maling pada ngaku mana mungkin polisi atau aparat penegak hukum perlu bekerja keras untuk membongkarnya. Karena maling itu biasa pandai bersembunyi, maka penegak hukum harus bekerja keras untuk membongkarnya,” kata Yusuf.
Dikatakan, urusan indikasi mega korupsi MYC pembangunan 14 ruas jalan di Aceh senilai Rp 2,7 triliun dan Kapal Aceh Hebat senilai ratusan milyar yang bersumber dari APBA itu tidak ada urusan dan hubungannya dengan pilkada. Tapi murni penegakan hukum pemberantasan korupsi, dan jangan dicampur adukkan.
“Indikasi Megakorupsi itu sudah pernah diusut KPK namun menggantung, karena kondisinya KPK saat ini mungkin sedang menyelesaikan persoalan internal pasca mantan ketua KPK Firli Bahuri harus berhadapan dengan hukum, maka sangat wajar jika institusi penegakan hukum lainnya baik itu Kejaksaan dan kepolisian turut ambil andil mengusut indikasi megakorupsi itu sehingga pemberantasan korupsi di Aceh tidak terkesan pandang bulu dan tebang pilih. Jangan campur adukkan urusan Pilkada dan pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Tanggapan Irwan Djohan mencampur adukkan dengan Pilkada hingga seakan dirinya korban fitnah dan menyatakan dirinya bersih itu terkesan menantang APH untuk mengusut dan membongkar semuanya.
“Kalau memang ingin mendukung proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kita justru menantang Irwan Djohan untuk mendukung Kejaksaan dan Kepolisian mengusut tuntas indikasi mega korupsi MYC Pembangunan 14 ruas jalan dan pengadaan Kapal Aceh Hebat, jika berani itu baru namanya pejabat yang menjunjung tinggi pemberantasan korupsi. Toh, benar terlibat atau tidaknya dibuktikan melalui proses hukum bukan pernyataan pribadi,” ungkapnya.(mah/sir)