Kabupaten Pidie, spiritnews.co.id – Perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke XXXVII Kabupaten Pidie Tahun 2024 telah usai dilaksanakan, namun masih menyisakan momen yang unik dan menarik untuk lirik, diulas dan dibahas.
Perhelatan MTQ tingkat kabupaten penghasil emping melinjo itu berlangsung sejak 6 sampai 12 Desember yang lalu, dengan diikuti oleh 751 peserta dari 7 Cabang dalam 20 golongan.
Adapun ketujuh cabang yang dimaksud adalah Tilawah Quran, Qiraah Sab’ah, Tahfiz Quran, Fahmil Qur’an, Syarhil Qur’an, Khattil Qur’an, dan Karya Tulis Ilmiah Qur’an (KTIQ).
Beberapa hal menarik juga terjadi pada kegiatan ini, salah satunya ialah hadirnya peserta termuda yang berasal dari cabang Khattil Qur’an atau lebih dikenal dengan seni kaligrafi Al-Qur’an yang diperlombakan pada kegiatan tersebut.
Ia adalah Muhammad Waliyul Azka, siswa yang duduk di kelas 4 MIN 40 Pidie. Ia lahir di Sigli, 12 Agustus 2014 yang merupakan peserta cabang Khat Kontemporer putra perwakilan kafilah dari Kecamatan Grong-grong.
Walaupun masih tergolong dalam kategori anak-anak, tidak menyurutkan semangatnya untuk bersaing dengan peserta lainnya yang rata-rata berumur 28 tahun.
Anak dari Bapak Azhar dan Ibu Siska Rahmah itu juga ternyata sudah memiliki banyak prestasi seperti juara 3 menggambar/mewarnai siswa PAUD/TK tingkat wilayah 5 Kabupaten Pidie Tahun 2020, Juara 2 lomba kaligrafi tulisan buku (Naskah) Tingkat SD/MI dalam acara Gebyar MTsN 4 Pidie (Getsempat) pada tahun 2022 pada MTsN 4 Pidie, Juara 1 hafalan surah pendek kelas 1-3 SD Putra pada acara MTQ di desa Tahun 2023, Juara 3 Tilawah tingkat SD/MI se-Kab Pidie di SMPN Unggul Sigli dan banyak lainnya.
Sosok anak ke-2 dari Azhar ini mengatakan bahwa ia mulai menyukai menggambar dan melukis sejak dari kelas 2 SD pada SDIT Al Latif Gampong Lada, karena ketertarikanya pada seni lukis, ia pun menyukai seni kaligrafi baik tulisan naskah, dekorasi, mushaf dan mendalami khat Kontemporer sejak awal pindah ke MIN 40 Pidie di bangku kelas 4.
“Awalnya belajar Kaligrafi sejak kelas 2 SD pada SDIT Al Latif dan mulai menyukai dan berlatih khat Naskah, Mushaf, Dekorasi serta Kontemporer awal naik kelas 3 SDIT Al Latif Gampong Lada, namun mendalami serta menghabiskan banyak waktu untuk khat Kontemporer sejak awal duduk di kelas 4 pada MIN 40 Pidie,” kata Azka.
Menurutnya, karena sudah pindah sekolah dari SDIT Al Latif Gampong Lada kecamatan Mutiara Timur yang sedikt jauh dengan rumah ke MIN 40 Pidie yang dekat dari rumah.
“Maka semakin banyak waktu luang bersama orangtua dan keluarga untuk belajar dan berlatih kaligrafi,” kata anak laki-laki yang akrab disapa Wali itu.
Saat ditanya tentang motivasi mengikuti perlombaan MTQ, ia mengatakan ingin mencari pengalaman dan mengekspresi ilmu yang diajarkan oleh ayahnya langsung yang ternyata juga ada pengalaman berkiprah di ajang MTQ pada cabang kaligrafi.
“Untuk mencari pengalaman, ilmu dan inspirasi dari ayah dan selalu mengajarkan kaligrafi dirumah bersama kakak dan adik oleh ayah yang kebetulan juga ada pengalam bagian kaligrafi dan pernah menjadi juri MTQ Pidie Jaya (Pijay) pada tahun 2007 cabang kaligrafi serta motivasi dari beberapa kawan ayah ternyata juga pelukis kaligrafi hebat baik tingkat kabupaten, provinsi maupun tingkat Nasional,” kata Wali.
Ia juga mengatakan sempat gugup dan tidak percaya diri, namun karena dorongan dan motivasi dari orang tua, pembimbing dan official MTQ yang baik hati, ia menjadi bersemangat dan sangat antusias untuk bersaing dengan peserta lainnya.
Adapun tema yang dilukis pada perlomban MTQ kemarin tentang orang yang berbuat kebaikan didunia akan mendapat balasan syurga dan bagi orang yang melakukan keburukan didunia akan mendapat balasaan neraka sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Infitar Ayat 13-14.
Adapun waktu yang dibutuhkan menyelesaikan lukisan tersebut mulai dari jam 8:30 s.d. 18.00, ada sekitar 8 Jam, Namun Muhammad Waliyul Azka mampu menyelesaikan pada jam 17:30 atau hanya 7 jam setengah saja.
Hal ini sejatinya menjadi perhatian lembaga terkait untuk terus meningkatkan kualitas kemampuannya agar dapat menjadi kader terbaik yang dimiliki Kabupaten Pidie dan Aceh dimasa yang akan datang.
Dan juga diharapkan agar banyak generasi yang terinspirasi oleh langkah Muhammad Waliyul Azka untuk terus mengembangkan potensi, bakat dan minat para generasi muda kedepan.
Kisah Wali diharapkan mampu menginspirasi pemerintah Aceh dan lembaga terkait untuk lebih serius mendukung pengembangan seni kaligrafi.
Saat ini, Aceh masih belum memiliki lembaga formal untuk pembinaan seni kaligrafi seperti lembaga belajar dan pelatihan kaligrafi di luar provinsi Aceh.
Melihat potensi besar anak-anak seperti Wali, kehadiran lembaga pendidikan seni kaligrafi dapat menjadi investasi penting bagi pengembangan seni Islami di Aceh.
Dengan pembinaan yang tepat, tak mustahil Muhammad Waliyul Azka yang akrab di sapa Wali serta generasi muda lainnya akan membawa nama Aceh ke tingkat nasional dan internasional.(mah/ops/sir)