Kasus Lurah Gudel Dinilai Kental Kejanggalan dan Pembungkaman Alat Bukti

  • Whatsapp

Kabupaten Karawang, spiritnews.co.id – Sidang lanjutan kasus yang menjerat Yusuf Saputra, atau yang akrab disapa “Lurah Gudel”, kembali menyita perhatian publik. Tim kuasa hukum Yusuf menuding proses hukum yang berjalan sarat kejanggalan dan berpotensi menjadi alat pembungkaman terhadap kritik dan kebebasan berpendapat di Indonesia.

“Ini bukan hanya perkara personal. Ini sudah menyentuh konstitusi. Kalau kritik terhadap pemerintah dibungkam, itu artinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” kata Simon Fernando, SH., Ketua Tim Kuasa Hukum, saat ditemui di Pengadilan Negeri Karawang, Selasa (10/6/2025).

Simon menyatakan bahwa perkara ini bermula dari pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seorang kepala desa. Namun, dalam persidangan justru muncul fakta mengejutkan: pelapor mengaku berita yang dimaksud bukanlah berita yang dia baca.

Menurut Simon, kejaksaan tetap memaksakan tuntutan terhadap kliennya meskipun dasar laporan, yakni berita online, tidak dapat ditunjukkan secara jelas oleh pelapor di persidangan.

“Saat hakim bertanya mana kalimat dalam berita yang dianggap mencemarkan, pelapor malah bilang ‘bukan berita yang ini yang saya baca’. Padahal, hanya ada satu berita yang tayang. Ini aneh,” kata Simon.

Ia menilai tindakan jaksa penuntut umum sebagai tidak proporsional dan tidak berimbang.

“Tuntutannya seperti template. Tidak berdasarkan fakta persidangan. Kalau integritas jaksa seperti ini, bagaimana masyarakat bisa percaya pada penegakan hukum?” lanjutnya.

Simon juga menyoroti pemahaman jaksa terhadap Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menurutnya keliru.

“BAP bukanlah vonis. Itu bisa dicabut, disanggah, bahkan dibatalkan. Yang menentukan bersalah atau tidak itu persidangan. Kalau ini dibiarkan, semua orang bisa dikriminalisasi hanya berdasarkan BAP,” katanya tegas.

Dikonfirmasi terpisah, pihak Kejaksaan Negeri Karawang belum memberikan pernyataan resmi terkait perkembangan perkara Yusuf Saputra.

Kasus ini memicu keprihatinan berbagai pihak, termasuk pengamat hukum dan aktivis kebebasan berekspresi. Mereka menilai bahwa perkara ini berpotensi menciptakan preseden buruk dalam demokrasi Indonesia, di mana kritik terhadap pejabat publik dapat dikriminalisasi atas dasar yang lemah.

Kasus Yusuf Saputra menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap kebebasan berpendapat belum sepenuhnya kuat dalam praktik hukum di lapangan. Bila aparat penegak hukum lebih mengedepankan posisi kekuasaan daripada kebenaran dan keadilan, maka demokrasi hanya tinggal nama.(ybs/ops/sir)

Editor: Lassarus Samosir, SE

Pos terkait