KASUS KORUPSI kembali mencuat dan membuat geram masyarakat di Jawa Barat, kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menetapkan empat tersangka dalam kasus korupsi dana hibah Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka Kota Bandung senilai Rp 6,5 miliar.
Penulis : Ferawati
Ibu Rumah Tangga, Lembang
Salah satu tersangka adalah Edy Marwoto, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Kota Bandung, bersama tiga lainnya berinisial DR, YI, dan DNH. Penyidikan mengungkap penyelewengan dana hibah pada tahun 2017, 2018, dan 2020, yang menyebabkan kerugian negara lebih dari 20% dari total dana yang diterima.
Sementara itu, dana operasional zakat pun tidak luput dari tindakan korupsi seperti dilansir media mainstream di Bandung, 28/05/2025. Fakta ini menunjukkan betapa korupsi tak mengenal batas, bahkan menyasar lembaga keagamaan.
Dua kasus di atas hanya sebagian kecil dari potret kelam korupsi di negeri ini, masih banyak kasus korupsi lainnya yang sudah membuat masyarakat geram. Meski berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan, akan tetapi belum menyelesaikan sampai ke akarnya.
Dalam sistem kapitalisme sekuler tolok ukur materi dijadikan sebagai tujuan utama hidup. Dalam pandangan ini, jabatan bukan lagi amanah, melainkan peluang untuk meraih keuntungan pribadi. Moral dan akhlak terpinggirkan karena agama dipisahkan dari kehidupan publik. Akibatnya, korupsi dianggap hal wajar selama tidak ketahuan.
Kapitalisme sekuler pun telah melahirkan ketimpangan dan kerakusan yang menindas. Sistem ini membuka celah atau kesempatan bagi penyelewengan dana dan penyalahgunaan wewenang. Upaya pemberantasan korupsi hanya menyentuh permukaan saja, karena akarnya tetap dibiarkan hidup.
Berbagai program antikorupsi, seperti reformasi birokrasi, laporan kekayaan, hingga kampanye integritas terbukti tidak efektif. Korupsi tetap tumbuh subur di negeri ini. Karena kapitalisme membolehkan segala cara demi keuntungan pribadi. Tanpa panduan moral yang kuat, pejabat akan terus mencari celah dan kesempatan untuk memperkaya diri.
Apabila kita melihat dari sudut pandang sistem hidup yang melahirkan para koruptor, kemudian menawarkan solusi Islam yang menyeluruh dan nyata. Pada akhirnya, hanya dengan perubahan sistemis, korupsi bisa diberantas dari akarnya. Islam memiliki sistem pencegahan dan penindakan korupsi yang menyeluruh melalui beberapa mekanisme kebijakan.
Pertama, Islam mewajibkan laporan kekayaan secara terbalik, yakni pejabat harus membuktikan bahwa seluruh hartanya halal dan tidak berasal dari penyalahgunaan jabatan.
Kedua, negara wajib menjamin kesejahteraan pejabat dengan gaji dan fasilitas yang mencukupi dan layak, agar tidak tergoda mengambil hak rakyat.
Ketiga, pencegahan paling mendasar dalam Islam adalah pembentukan pribadi bertakwa, yang sadar bahwa Allah SWT selalu mengawasi di mana pun dan kapan pun.
Keempat, Islam mengharamkan suap-menyuap dalam segala bentuk. Adapun untuk penindakan yang tegas, qadhi (hakim) dalam sistem Islam memiliki wewenang menjatuhkan sanksi ta’zir yang menjerakan, sesuai tingkat kejahatannya.
Pelaku korupsi tidak hanya dihukum secara fisik, tetapi bisa juga dijatuhi sanksi sosial dan ekonomi dengan menyita harta ghulul hasil korupsi untuk dikembalikan kepada negara atau rakyat yang berhak.
Islam tidak hanya memberi aturan, tapi juga membentuk sistem kehidupan yang terpadu. Dalam sistem Islam, pemimpin dan rakyat terikat pada hukum Allah SWT. Suap dan harta ghulul (hasil korupsi) haram hukumnya.
Negara mengawasi harta pejabat, dan rakyat diberi hak mengoreksi langsung tanpa rasa takut. Penerapan syariat secara kaffah menjamin bersihnya pemerintahan dari korupsi. Ini bukan sekadar teori, tapi telah terbukti dalam sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW dan para pemimpin setelahnya. Wallahu’alambi ash shawab.(*)