Kabupaten Karawang, spiritnews.co.id – Ada satu hal yang tak pernah hilang setiap Karawang merayakan hari jadinya dengan berziarah ke makam ara pendahulu.
Bukan sekadar seremonial. Tapi semacam ritual panjang umur. Seperti doa dari sebuah kota kepada para pendirinya. Doa untuk leluhur, doa untuk hari ini, doa untuk hari esok.
Pagi itu, Sabtu (13/9/2025), atau satu hari jelang hari jadi, rombongan Pemerintah Kabupaten Karawang berangkat ke Lemah Abang. Ke sebuah kompleks pemakaman tua yang sunyi tapi penuh wibawa: makam Syech Quro. Seorang ulama besar dari abad ke-14 yang jejaknya menorehkan sejarah Islam di Tatar Sunda.
Di sana, doa dipanjatkan. Tabur bunga, khidmat. Wajah-wajah pejabat yang biasanya kaku, kali ini tampak lebih tenang. Seolah ada jeda, ada ruang hening, di tengah hiruk pikuk dunia birokrasi.
Tapi perjalanan belum selesai. Dari Lemah Abang, rombongan meluncur ke Manggung Jaya. Di sinilah bersemayam Raden Adipati Singaperbangsa, Bupati pertama Karawang. Lelaki yang pada masanya bukan hanya pemimpin, tapi juga penjaga martabat.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW digelar di sana. Di antara nisan, doa kembali mengalir. Seakan sejarah dipertemukan dengan keteladanan Nabi. Seakan Karawang ingin berkata: “Kami tidak lupa asal-usul. Kami tidak lupa arah.
Usia 392 memang bukan angka kecil. Hampir empat abad. Kota ini telah menyaksikan sawah, pabrik, jalan tol, hingga gedung-gedung baru berdiri di atas tanahnya. Tapi setiap tahun, Karawang tetap pulang. Pulang ke makam-makam ini. Pulang ke akar sejarahnya.
Mungkin di situlah letak kekuatan Karawang. Maju, tapi tetap menoleh ke belakang. Modern, tapi masih tunduk pada doa-doa. Sebab apa artinya ulang tahun, jika tanpa syukur?(ops/sir)







